Koperasi disebut sebagai sokoguru atau tiang penyangga utama perekonomian Indonesia. Ironisnya, peran koperasi dalam perekonomian semakin marjinal atau ‘dimarjinalkan’.
Bahkan, yang lebih menyedihkan justru badan usaha koperasi, khususnya koperasi simpan pinjam (KSP) seringkali digunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab sebagai sarana untuk menipu masyarakat.
Selama 10 tahun terakhir terjadi beberapa kasus penipuan investasi berkedok badan usaha koperasi (KSP) dengan korban ratusan ribu orang dan total kerugian mencapai triliunan rupiah. Sebut saja Koperasi Langit Biru yang pada 2011 merugikan ribuan anggotanya hingga Rp6 triliun.
Masih pada tahun yang sama, KSP Pandawa berhasil memperdaya 569.000 anggota dan calong anggota dengan nilai kerugian hingga Rp2 triliun. Terakhir, pada tahun ini terungkap kasus KSP Indosurya yang tidak mampu mengembalikan dana dari 16.749 ‘nasabah’ dengan nilai kerugian mencapai Rp14 triliun.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa keledai tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama. Nyatanya, masyarakat berulang kali menjadi korban penipuan yang dilakukan dengan menggunakan modus itu-itu juga. Masyarakat jelas lebih cerdas daripada keledai.
Namun mengapa penipuan itu terus berulang terjadi? Apa yang salah? Kebijakan seperti apa yang bisa menghentikan penipuan berkedok koperasi?
Berulangnya kasus penipuan berkedok koperasi disebabkan setidaknya tiga faktor. Pertama, setiap kasus tidak diinvestigasi secara tuntas dan hasil investigas kasus tidak menjadi input kebijakan pencegahan. Sederhananya, dari sekian kasus penipuan berkedok koperasi, berapa banyak yang telah diungkap secara tuntas kepada masyarakat?
Bisa dikatakan tidak ada! Investigasi kasus penipuan berkedok koperasi umumnya dilakukan dalam rangka penyelesaian hukum.
Dengan telah dihukumnya para pelaku maka permasalahan dianggap sudah selesai. Tidak ada tindak lanjut menjadikan hasil investigasi sebagai bahan pembelajaran kepada masyarakat. Tidak juga dijadikan sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan pencegahan. Oleh karena itu tidak heran bila kasus terus berulang dengan modus operandi yang persis sama.
Kedua, lemahnya pengaturan dan pengawasan koperasi. Perlu dicatat bahwa lembaga yang mengatur dan mengawasi koperasi termasuk KSP adalah Kementerian Koperasi dan UMKM. Harus diakui bahwa selama ini Kementerian Koperasi dan UMKM tidak mempunyai kapasitas untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap koperasi secara komprehensif. Setidaknya hal ini dilihat dari keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur pengawasan yang dimiliki kementerian tersebut.
Jika kita ingin mewujudkan koperasi sebagai sokoguru perekonomian, sekaligus menghentikan penyalahgunaan koperasi sebagai kedok penipuan investasi maka penguatan Kementerian Koperasi dan UMKM sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi koperasi mutlak harus dilakukan.
Semua pihak harus disadarkan bahwa sesuai undang-undang, perizinan koperasi berada di Kementerian Koperasi dan UMKM. Demikian juga dengan tanggung jawab atas semua kinerja koperasi.
Ketika sebuah koperasi melakukan penipuan yang dilakukan dalam kurun waktu yang panjang dengan jumlah korban ribuan orang dan kerugian mencapai triliunan rupiah, kita tidak bisa melepaskan tanggungjawab itu dari lembaga yang memberikan izin operasi, yang seharusnya mengatur dan mengawasi.
Ketiga, maraknya penipuan berkedok koperasi terjadi karena tidak dilakukannya penguatan koperasi. Harus diakui bahwa kita sudah terlalu lama meninggalkan koperasi. Gerakan koperasi hanya tinggal kenangan. Koperasi juga tinggal sebuah nama. Tidak ada lagi jiwa koperasi.
Coba saja tanyakan kepada para pengurus koperasi, apa yang membedakan koperasi dengan badan usaha lainnya? Jangan kaget kalau hanya sedikit yang mampu menjawab dengan benar.
Minimnya pemahaman masyarakat tentang koperasi membuat koperasi rawan disalahgunakan. Kondisi ini harus segera diakhiri. Untuk mewujudkan koperasi sebagai tulang punggung perekonomian nasional, gerakan koperasi perlu digalakkan kembali. Pengurus koperasi selain harus memiliki kredibilitas, integritas dan kompetensi, juga harus memiliki jiwa koperasi.
Di sisi lain, anggota dan calon anggota koperasi juga harus terus diedukasi tentang fungsi dan peran koperasi, sehingga bisa memahami bahwa koperasi bukan tempat melampiaskan nafsu keserakahan.
Investasi berisiko dengan iming-iming keuntungan tinggi jelas bukan produk koperasi. Kasus KSP Indosurya hanyalah sebuah puncak gunung es. Investigasi atas kasus tersebut harus dilakukan secara komprehensif dan hasil investigasi hendaknya dimanfaatkan secara maksimal untuk mengedukasi masyarakat dan juga untuk menyusun kebijakan yang dibutuhkan dalam rangka menghidupkan kembali gerakan koperasi.
Hanya dengan cara itu kita bisa menghentikan penipuan berkedok koperasi.