Bisnis.com, JAKARTA - Sebagian parikan daging olahan pada April-Mei 2020 terdampak oleh pandemi Covid-19. Alhasil, utilitas industri daging olahan saat ini turun ke level 65 persen dari posisi 75 persen pada awal tahun.
Seperti diketahui, pabrik daging olahan dibagi menjadi tiga berdasarkan tujuan pasar, yakni pasar tradisional, pasar modern, dan pasar hotel dan restoran. Adapun, National Meat Producer Association (Nampa) mencatat utilitas pabrikan dengan pasar hotel dan restoran turun 60 persen.
"Bahkan ada yang [utilisasinya] sudah 30 persen sekarang. Tamu di hotel tidak ada, [sedangkan] restoran tutup semua," kata Ketua Umum Nampa Ishana Mahisa kepada Bisnis, Rabu (3/6/2020).
Ishana mencatat pasar tradisional menopang 60-65 persen serapan produk daging olahan di dalam negeri. Sementara itu, pasar restoran dan hotel berkontribusi sekitar 15-20 persen, sedangkan pasar modern hanya sekitar 15 persen.
Dia berujar permintaan pada pasar modern sedikit meningkat pada awal April 2020 saat pandemi Covid-19 mulai menyerang. Menurutnya, peningkatan tersebut merupakan satu-satunya peningkatan permintaan sepanjang Januari-Mei 2020.
Dengan kata lain, industri daging olahan juga tidak menikmati lonjakan pada bulan Ramadan seperti tahun-tahun sebelumnya. Ishana mendata peningkatan permintaan daging olahan pada bulan Ramadan dapat mencapai 125-150 persen dibandingkan bulan biasa.
Sementara itu, Ishana menyatakan penanganan Covid-19 menjadi kunci pemulihan utilitas industri daging olahan. Menurutnya, utilitas pabrikan dapat kembali turun ke bawah 65 persen jika penanganan Covid-19 berlarut-larut.
Ishana mengutarakan pabrikan daging olahan saat ini telah mengurangi produktivitas sekitar 13 persen akibat implementasi protokol kesehatan. Selain itu, lanjutnya, parikan juga menjadwalkan tenaga kerja untuk keluar pabrik pada siang hari.
Dia melanjutkan,utilitas parikan saat ini tidak dapat menembus level 70 persen. Pasalnya, ujar harga bahan baku yang diterima pabrikan saat ini terlampau tinggi.
Dia mencatat saat ini harga daging kerbau mencapai Rp89.500 per kilogram, sedangkan harga daging sapi sekitar Rp85.000 per kilogram. Adapun, menurutnya, harga yang ditetapkan peternak asal negara impor hanya US$4 atau sekitar Rp60.000 per kilogram.
"Begitu [bahan baku] mahal kami tidak berani ambil banyak bahan baku. Tidak berani jual bbanyak karena takut daya belinya [tidak ada]," ucapnya.
Ishana menduga akar tingginya harga yang diterima pabrikan adalah tata niaga impor daging nasional. Oleh karena itu, Ishana mengatakan pabrikan daging olahan saat ini masih menerapkan strategi konservatif.
Ishana menilai salah satu akar masalah tingginya harga daging adalah terbatasnya izin impor daging. Menurutnya pasokan bahan baku selalu kurang lantaran importir daging di dalam negeri didominasi oleh badan usaha milik negara (BUMN).
Menurutnya, utilitas pabrikan dapat menembus level 80 persen jika pemerintah memberikan ijin pada pabrikan untuk mengimpor bahan baku langsung dari negara asal importir.
Selain itu, sambungnya, penetrasi pasar daging olahan dan serapan daging di dalam negeri oleh pabrikan dapat meningkat, sementara itu harga bahan baku dapat ditekan. Ishana mendata saat ini penetrasi pasar daging olahan baru mencapai 37 persen, sedangkan serapan daging lokal oleh pabrikan hanya 4 persen.
"Kalau bahan bakunya murah, tentu produknya bisa menjangkau [konsumen] lebih luas lagi. [Selain itu,] kandungan daging dalam produk daging olahan dapat meningkat dengan harga yang masih terjangkau," katanya