Bisnis.com, JAKARTA – Belum genap sepekan pengesahan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai revisi UU No.4/2009, upaya menggugat beleid ini pun sudah muncul.
Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan Universitas Tarumanagara Ahmad Redi mengatakan revisi UU Minerba ini tak memenuhi kriteria carry over atau pembahasan yang dapat dilanjutkan dari DPR periode 2014-2019 ke 2019-2024.
Selain itu, tak ada pelibatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sejak awal pembahasan UU minerba ini.
"UU ini cacat dari sisi formalitas maupun substansi. Secara substansi terkait perubahan KK dan PKP2B dan perubahan statusnya menjadi IUPK. Selain itu, tak diprioritas kepada BUMN dan BUMD ketika perpanjangan KK dan PKP2B," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (13/5) malam.
Secara formil, Redi menyebut disahkannya UU minerba ini tak sesuai dengan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu juga terdapat keputusan Mahkamah Konstitusi terkait kewajiban pelibatan DPD dalam penyusunan dan pembahasan.
"Dalam Putusan MK dinyatakan bahwa DPD harus menyiapkan DIM apabila RUU diinisiasi oleh DPR sehingga ada 2 DIM yaitu DIM Pemerintah dan DIM DPR," katanya.
Baca Juga
Dia juga menyayangkan soal pembahasan tim panja RUU Minerba yang tertutup yang melanggar asas keterbukaan dalam pembentukan RUU.
Rencananya, UU ini akan diajukan uji material ke MK. Adapun gugatan itu akan disampaikan ke MK setelah UU ini ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo dan diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
"Nanti setelah diundangkan oleh Kemenkuham, kami daftarkan ke MK," tutur Redi.
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam #BersihkanIndonesia menyatakan juga akan mengajukan judicial review terhadap revisi UU Minerba.
Ketua Divisi Kampanye dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arip Yogiawan menuturkan isi dari revisi UU Minerba dinilai menguntungkan pengusaha dan mengabaikan banyak fakta lapangan terkait kerusakan lingkungan maupun masyarakat terdampak tambang.
Menurutnya, hampir 70 persen konten undang-undang baru minerba ini layak dilakukan judicial review. Penyusunan dan pengesahan revisi UU Minerba disebut merupakan proses legislasi terburuk dalam lima tahun terakhir.
"Konten dari RUU Minerba sangat mengabaikan aspirasi masyarakat di lapangan. Ini proses terburuk dalam pembuatan produk legislasi," tuturnya.
Dia menilai saat ini ada 36 nyawa anak-anak dari total 143 korban lubang tambang yang telah melayang akibat tak dilakukan reklamasi. Revisi UU Minerba yang baru disahkan ini sama sekali tak memberi jawaban terkait persoalan lubang tambang yang menelan banyak korban.
"Judicial review ini perlu disiapkan baik-baik agar lebih bermakna. Judicial review UU Minerba hasil revisi ini perlu didahului konsolidasi masyarakat bukan sekadar mendaftarkan perkara. Kita harus menjadi antitesis dari DPR yang tidak partisipatif," terangnya.