Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Simalakama Pembayaran THR

Kemenaker resmi mengatur relaksasi pembayaran tunjangan hari raya kepada karyawan, merujuk pada surat edaran nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tertanggal 6 Mei 2020.
Pekerja melakukan bongkar muat semen kedalam kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Jumat (14/2/2020). Pemerintah akan melakukan sosialisasi secara rinci kepada masyarakat Indonesia terkait Omnimbus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang bertujuan untuk menciptakan lapangan pekerjaan sehingga mampu menunjang perekonomian tanah air. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/ama
Pekerja melakukan bongkar muat semen kedalam kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Jumat (14/2/2020). Pemerintah akan melakukan sosialisasi secara rinci kepada masyarakat Indonesia terkait Omnimbus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang bertujuan untuk menciptakan lapangan pekerjaan sehingga mampu menunjang perekonomian tanah air. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/ama

Bisnis.com, JAKARTA – Pembayaran tunjangan hari raya (THR) seakan menjadi buah simalakama bagi pengusaha. Dalam kondisi perusahaan yang tengah lesu akibat penurunan permintaan, pembayaran THR sangat dinanti para pekerja untuk menjaga daya beli.

Kementerian Ketenagakerjaan resmi mengatur relaksasi pembayaran tunjangan hari raya kepada karyawan, merujuk pada surat edaran nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tertanggal 6 Mei 2020. Padahal, THR dapat dikatakan sebagai instrumen pengatrol demand, khususnya pada daya beli masyarakat.

Direktur Eksekutif Socio Economic Educational Business Institute (SEEBI), Dianta Sebayang menyarankan bahwa solusi yang dapat ditawarkan adalah penyesuaian pembayaran THR dengan aturan pemerintah mengenai pengganti liburan Lebaran.

“Jadi, seperti sebuah paket secara aturan. Atau bisa dicicil melalui beberapa tahap, seperti tahap 1 sekarang membayar 50 persen dan tahap 2 membayar sisanya saat akhir tahun, karena lebih baik ada kepastian agar pengusaha dan karyawan dapat membuat perencanaan bersama dengan baik,” tuturnya kepada Bisnis, Kamis, (7/5).

Dia mengamini bahwa THR memang penting untuk menjaga kemampuan daya beli konsumen. Kendati demikian,  menurutnya, pembayaran THR memberatkan para pengusaha yang tengah mempentingkan kemampuan cashflow agar perusahaan bisa bertahan saat pandemi, di mana penjualan barang sedang rendah dan menurun.

“Adapun, saat ini yang lebih penting daripada THR, ialah bagaimana perusahaan dapat meminimalisir atau menghindari terjadi PHK [Pemutusan Hubungan Kerja],” ujarnya.

Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef),Enny Sri Hartati mengamini bahwa yang paling utama dibutuhkan oleh tenaga kerja sekarang mereka tidak kena PHK.

“Karena kalau tidak kena phk minimal mereka masih mendapatkan haknya. Walaupun terdapat skema pembayaran gaji dan THR dengan sistem mencicil, tetapi mereka tidak dihadapkan pada keputusan PHK,” jelasnya.

Dia menjelaskan bahwa pandemi corona memberikan dampak sangat besar pada bisnis dan cashflow perusahaan sehingga pelaku dapat mengalami collaps bila memaksakan untuk memenuhi pembayaran THR secara penuh bila tidak mampu untuk dilakukan, yang berkorelasi pengangguran dapat meningkat.

“Namun, kondisi ini tidak boleh digunakan sebagai moral hazard terus semua pengusaha ramai-ramai tidak mampu dan tidak sanggup. Perlu ada kriteria dari kemenaker untuk memiliki alat yang melapor kondisi saat ini,” jelasnya.

Di sisi lain, Kebijakan terkait relaksasi tentang pembayaran THR  disambut baik oleh Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI).

Sekretaris Jenderal OPSI Timboel Siregar mengatakan adanya THR adalah untuk mendukung daya beli pekerja dan keluarganya ketika merayakan Lebaran. Mengingat, biasanya pada hari raya terjadi proses silaturahmi dengan keluarga dan kerabat, dan tentunya harga-harga naik ketika mendekati Lebaran.

Ini merupakan aspek sosioligis dan ekonomi bagi pekerja yang merayakan hari raya. Karena itu wajib dibayarkan pengusaha. Kendati, kata Timboel, di masa pandemi Covid-19 ini memang pembayaran THR akan mengalami masalah mengingat perusahaan mengalami permasalahan dengan arus keuangan sehingga akan mengalami kesulitan untuk membayar full THR pada H-7.

“Saya menilai Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan adalah baik dan bisa dijadikan acuan bagi perusahaan dan pekerja [atau SP/SB] untuk pembayaran THR ini. Pihak Pengusaha dan Pekerja [SP] harus memiliki pengertian yang sama dalam kondisi Covid-19 ini,” kata Timboel, Kamis (7/5/2020).

Menurutnya, dengan adanya kebijakan ini, pengusaha harus mengajak bicara pekerja atau SP/SB dan buat perjanjian bersama untuk proses pembayaran THR ini. Pekerja atau SP/SB jangan juga menolak ajakan komunikasi ini, dengan tetap mengatakan pokoknya harus bayar sesuai regulasi.

Dalam kondisi pandemi ini harus ada pengertian dari kedua belah pihak, agar proses produksi tetap berjalan dan pekerja tetap bisa bekerja.

“Bila memang H-7 perusahaan hanya mampu membayar 60 persen, misalnya, dan sisanya dibayarkan di bulan-bulan berikutnya, maka semuanya ini harus ditulis dalam perjanjian bersama yang akan mengikat kedua belah pihak. Item-item apa saja yang disepakati harus jelas,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper