Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kinerja Manufaktur Anjlok, Menperin: Daya Beli dan Kurs Pemicunya

Kinerja manufaktur nasional itu tercermin dalam Purchasing Manager's Index (PMI) yang pada April 2020 ke level 27,5 persen.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita meninjau pabrik PT Kalbio Global Medika di kawasan industri Cikarang, Jawa Barat, Rabu (11/3/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita meninjau pabrik PT Kalbio Global Medika di kawasan industri Cikarang, Jawa Barat, Rabu (11/3/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai salah satu penyebab merosotnya Purchasing Manager's Index (PMI) April 2020 ke level 27,5 persen adalah melorotnya permintaan nasional.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mendata sekitar 70 persen hasil produksi sektor manufaktur diserap oleh pasar lokal. Alhasil, penurunan permintaan di dalam negeri menyebabkan reaksi berantai ke seluruh struktur industri nasional.

"Ketika daya beli masyarakat tertekan atau tidak ada demand, secara otomatis perusahaan industri harus melakukan penyesuaian, termasuk penurunan drastis utilitasnya," katanya kepada Bisnis, Senin (4/5/2020).

Agus menambahkan hal tersebut juga akan berdampak pada ketersediaan dan serapan hasil produksi industri hulu. Agus berpendapat salah satu negara yang memiliki struktur industri yang mirip dengan Indonesia adalah India.

Agus mencatat pergerakan PMI India serupa dengan Indonesia. Melansir data IHS Markit, PMI India masih stabil pada Februari-Maret 2020 di atas level 51,0. Namun demikian, PMI India langsung anjlok pada April 2020 ke level 27,4.

Agus menilai alasan penurunan PMI India serupa dengan Indonesia, yakni penurunan daya beli masyarakat. Selain penurunan daya beli, lanjutnya, melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat juga menambah tekanan pada indeks PMI April 2020.

"Logika sederhananya adalah dalam kondisi normal PMI kita di sekitar angka 50,0. Jika utilitas turun sampai di bawah 50 persen, maka angka PMI di sekitar 25,0. [Selain itu,] input manufaktur kita 74 persen impor dan dengan tambahan tekanan kurs, maka beban input meningkat, akibatnya output menurun signifikan," jelasnya.

Agus menyatakan menurunnya PMI Indonesia sangat mempengaruhi penurunan PMI di Asia Tenggara. Pasalnya, volume sektor manufaktur Indonesia lebih besar dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.

Oleh karena itu, Agus menyatakan pihaknya akan memperbesar rasio penyerapan produk di pasar global dalam jangka menengah dan panjang. Agus berujar salah satu cara yang akan dilakukan adalah membuka akses pasar di negara lain.

Adapun, Agus menyampaikan dalam jangka pendek pihaknya akan berusaha menyeimbangkan strategi pertumbuhan ekonomi dan pembatasan penyebaran Covid-19.

"Tidak ada IOMKI [Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri] yang ditolak. Bagi [industriawan] yang mengajukan IOMKI, tentu dia wajib memperhatikan protokol kesehatan," ujarnya.

Adapun, Agus meyakini relaksasi protokol pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dapat menjadikan pertumbuhan ekonomi berangsur pulih. Menurutnya, relaksasi PSB dapat memulihkan daya beli masyarakat.

"Sehingga industri manufaktur kita akan bergairah lagi seperti PMI yang 51,9 di bulan Februari 2020," ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Andi M. Arief
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper