Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Prospek Bisnis Batu Bara Jika Pemerintah Kenakan Bea Keluar

Wacana pengenaan bea keluar batu bara dinilai dapat makin membebani industri batu bara dalam negeri.
Mochammad Ryan Hidayatullah,Surya Dua Artha Simanjuntak
Kamis, 10 Juli 2025 | 07:39
Aktivitas tambang batu bara di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan. - Bisnis/Husnul Iga Puspita
Aktivitas tambang batu bara di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan. - Bisnis/Husnul Iga Puspita

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah tengah menggodok wacana pengenaan bea keluar batu bara dan emas untuk menambah pundi-pundi penerimaan negara. Namun, langkah ini mendapat keberatan dari para pelaku usaha batu bara di tengah kondisi permintaan yang lesu.

Usulan pengenaan bea keluar untuk emas dan batu bara muncul dalam pembahasan antara Kementerian Keuangan dengan Komisi XI DPR RI di Panja Penerimaan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.

Untuk emas, pada dasarnya memang sudah dikenai bea keluar seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/2024. Hanya saja, yang dikenai bea keluar hanya emas mentah/konsentrat/dore bullion, tidak dengan emas batangan/perhiasan.

Sementara untuk batu bara, sudah tidak termasuk komoditas yang dikenai bea keluar sejak 2006. Komoditas batu bara hanya dikenai tarif royalti, yang tergolong sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Atas usulan DPR tersebut, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu menyebut bahwa pihaknya segera berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mendiskusikan wacana pengenaan bea keluar untuk komoditas emas dan batu bara.

"Kami berterima kasih untuk masukkan itu dari DPR. Tentunya kami akan konsolidasi dengan kementerian/lembaga terkait khususnya Kementerian ESDM," ujar Febrio di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (8/7/2025).

Sementara itu, Kementerian ESDM menilai wacana pengenaan bea keluar batu bara dan emas perlu dikaji secara mendalam.

Menurut Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung, pengenaan bea keluar, khususnya untuk batu bara, perlu memperhatikan kondisi pasar. Sebab, bila kebijakan ini diterapkan saat permintaan pasar lemah, industri batu bara dalam negeri bisa tertekan.

"Kalau permintaannya lemah, [lalu] kenakan bea keluar, justru ini akan berdampak. Jadi ini enggak ada yang beli juga. Jadi kita melihat kompetitif dari komoditas yang kita miliki," jelas Yuliot.

Namun demikian, Yuliot mengatakan, pihaknya akan duduk bersama dengan Kemenkeu untuk membahas wacana tersebut.

Dampak ke Bisnis Batu Bara

Pelaku usaha batu bara merasa keberatan dengan wacana pengenaan bea keluar terhadap komoditas emas hitam.

Plt Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani menilai langkah pemerintah itu kian menambah beban pengusaha. Sebab, selama ini pelaku usaha telah dikenai kewajiban membayar royalti batu bara. Di samping itu, saat ini harga batu bara juga tengah lesu. 

"Rencana pemberlakuan bea masuk ini tentunya akan menambah lagi beban bagi perusahaan batu bara. Selama ini sudah ada royalti juga. Belum lagi pengenaan ini makin tidak tepat dengan kondisi harga batu bara saat ini," kata Gita kepada Bisnis, Selasa (8/7/2025) malam.

Selain itu, Gita menyebut, perusahaan batu bara juga tengah dihadapkan pada beban operasional yang meningkat lantaran harga bahan bakar B40 naik signifikan.

Dia menuturkan, APBI sejatinya mendukung kebijakan pemerintah yang mampu mendorong keberlangsungan usaha serta upaya peningkatan penerimaan negara.

Namun, terkait rencana pemerintah akan menerapkan bea keluar atas batu bara, dia mengingatkan pemerintah untuk melakukan kajian mendalam terkait hal tersebut lebih dulu.

"Sehingga baik keberlangsungan usaha, ketahanan energi nasional serta peningkatan penerimaan negara menjadi tolak ukur yang berkesinambungan antara pelaku usaha pertambangan serta industri pendukungnya dan juga pemerintah," jelas Gita.

Senada, Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira mendukung semangat pemerintah untuk menambah nilai tambah sektor tambang nasional, termasuk lewat kebijakan fiskal seperti bea keluar.

Namun, dalam konteks batu bara, kebijakan ini perlu dikaji ulang secara lebih komprehensif, agar tidak menggerus daya saing dan kelangsungan industri.

"Perlu kajian dampak ekonomi menyeluruh, termasuk simulasi sensitivitas terhadap harga batu bara global," katanya.

Menurut Anggawira, pengenaan bea keluar itu berpotensi memberikan dampak negatif bagi pelaku usaha. Dampak itu seperti menurunkan daya saing ekspor.

Lalu, bea keluar bisa mengurangi margin pengusaha batu bara, terutama bagi produsen dengan kualitas batu bara rendah (low-CV), yang pasar ekspornya sensitif terhadap harga. Apalagi, negara pesaing seperti Australia, Rusia, atau Afrika Selatan tidak mengenakan bea serupa.

Selain itu, dampak dari kebijakan itu juga bisa membuat banyak pelaku batu bara, khususnya kelas menengah dan kecil, kesulitan memenuhi kewajiban keuangan baru di tengah volatilitas harga global.

Di samping itu, kebijakan tersebut juga berpotensi membuat investor menahan ekspansi. Industri hilir, logistik, hingga pelabuhan bisa ikut terdampak.

Tak hanya itu, kebijakan itu pun berpotensi membuat ekspor menurun dan mengganggu target produksi serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

"Bila ekspor melemah, maka target lifting dan PNBP dari sektor ini justru bisa turun," imbuh Anggawira.

Lebih lanjut, dia pun mengingatkan pemerintah untuk membedakan antara pemain besar dan kecil. Menurutnya, pemerintah jangan menyamakan beban fiskal bagi semua level pelaku usaha. UMKM tambang butuh perlakuan khusus.

Dia juga menekankan bahwa penggunaan bea keluar harus jelas arahnya.

"Apakah untuk mendukung hilirisasi, pendanaan transisi energi, atau perlindungan lingkungan? Transparansi penting," katanya.

Dia juga menyarankan, jika pengenaan bea keluar diberlakukan, sebaiknya dibuat dengan skema insentif-diskriminatif atau reward and punishment. Anggawira mencontohkan, perusahaan yang menyuplai ke dalam negeri (DMO) dan melakukan hilirisasi bisa mendapatkan pengurangan atau penghapusan bea keluar.

Anggawira menambahkan bahwa Aspebindo siap berdialog dan memberikan masukan konstruktif demi menciptakan kebijakan yang berkeadilan, berkepastian, dan mendukung daya saing nasional.

"Prinsipnya, jangan sampai niat menambah penerimaan negara justru mengganggu kelangsungan sektor yang menopang energi nasional dan ekonomi daerah," ucapnya.

Permintaan dari China Melemah

Permintaan batu bara dari China, pasar ekspor utama Indonesia, melemah sepanjang awal tahun ini. Impor batu bara Indonesia oleh China turun secara tahunan (yoy) dalam 3 bulan berturut-turut. Bea Cukai China mencatat impor batu bara dari Indonesia mencapai 14,28 juta ton pada April 2025. Volume impor itu merosot 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Merosotnya permintaan dari China lantaran stok dari negara tersebut masih melimpah. Terlebih, produksi batu bara China cukup tinggi.

Ketua Badan Kejuruan Teknik Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (BK Tambang PII) Rizal Kasli menyebut, lesunya permintaan batu bara dari China itu membuat harga batu bara terus turun. Menurutnya, dengan kondisi lesunya harga dan permintaan batu bara, wacana pengenaan bea keluar akan menekan industri batu bara.

"Dampaknya akan sangat signifikan bagi industri pertambangan batu bara mengingat saat ini komoditas tersebut sedang tertekan harganya. Tentu akan berdampak kepada keuntungan bisnis tersebut," ujar Rizal kepada Bisnis, Rabu (9/7/2025).

Ucapan Rizal tentu bukan isapan jempol. Harga batu bara acuan (HBA) sepanjang tahun ini relatif turun. Tercatat HBA untuk batu bara kalori tinggi dalam kesetaraan nilai kalori 6.322 kcal/kg GAR pada periode pertama Juli 2025 ditetapkan sebesar US$107,35 per ton. Angka itu turun dibanding Januari 2025 yang senilai US$124,01 per ton.

Rizal menuturkan, pemerintah memang sedang menggenjot pendapatan negara di tengah gejolak geopolitik global yang saat ini terjadi. Namun, dia mengingatkan agar pemerintah dapat mempertimbangkan kembali rencana pengenaan bea kelauar untuk emas dan batu bara itu.

"Mengingat saat ini juga terjadi kelesuan impor batu bara oleh China yang menjadi penentu harga batu bara global," imbuhnya.

Selain itu, dia mengatakan, para pelaku usaha juga ternah menanggung beban pengenaan royalti. Saat ini, kata Rizal, pemerintah juga sudah melakukan perubahan untuk prosentase royalti terhadap komoditas batu bara dan bahkan ada yang mencapai 28% terutama untuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) atau kelanjutan perpanjangannya.

"Apabila harga terus menurun dan pengeluaran tambahan meningkat tentu saja akan dilakukan rasionalisasi stripping ratio sehingga terganggunya konservasi batu bara ke depan," ucap Rizal.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper