Bisnis.com, JAKARTA – Rencana pemerintah menambah kuota rumah bersubsidi hingga sekitar 220.000 unit pada April mendatang dinilai bisa memenuhi kekurangan kuota. Namun, pengembang menilai masih ada beberapa hal yang perlu dievaluasi.
Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Endang Kawidjaja mengatakan bahwa secara kuantitas, tambahan kuota rumah subsidi dari pemerintah sudah cukup, tetapi dia menilai penetapan kuota rumah bersubsidi seharusnya bisa setara dan serempak.
"Kita mendapat kabar [tenor] subsidinya tidak sampai 15 tahun. Sebenarnya untuk lapangan tidak masalah, tapi kalau benar hanya 6 tahun, sedangkan FLPP [Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan] tetap 15 tahun pasti [program] yang baru ini nggak akan laku," katanya saat dihubungi Bisnis.com, Kamis (27/2/2020).
Menurutnya, dengan tenor FLPP yang lebih panjang yaitu selama 15 tahun, maka masyarakat diperkirakan masih akan tetap memilih FLPP. Dengan demikian, penyaluran pembiayaan rumah bersubsidi harus menunggu kuota FLPP habis terlebih dulu agar mau menggunakan fasilitas pembiayaan yang baru dengan skema Subsidi Selisih Bunga (SSB).
Menurutnya tenor cicilan yang berbeda bisa menimbulkan kesenjangan dari sudut pandang konsumen. Bahkan, kasus seperti Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) dikhawatirkan akan terjadi lagi.
"Dulu BP2BT sudah dua tahun jalan tidak terserap, karena ada minimun tabungan, upah lebih tinggi, pakai bunga komersial, dan ada SLF [Sertifikat Laik Fungsi]. Nah, ketika semua itu dihapus kan akhirnya jalan juga, karena sudah setara dengan skema subsidi lainnya," ujarnya.
Baca Juga
Kemudian, unsur lain yang perlu diperhatikan adalah peluncuran skema pembiayaan yang dilaksanakan secara serempak. Menurutnya, peluncuran program pembiayaan rumah bersubsidi yang tidak dilakukan serempak di awal tahun menimbulkan kesan bahwa pemerintah menahan orang untuk pakai kuota rumah subsidi.
"Kalau bergantian penggunaannya nanti ada kegalauan sistem. Habis waktu untuk bisa sampai realisasi karena harus penyesuaian lagi sistemnya, formulirnya ribet sendiri, Kalau bareng kan bisa diserap oleh pasarnya masing-masing," imbuhnya.
Adapun, Endang menyebut jika tambahan kuota nanti menggunakan aplikasi SiKasep dan SiKumbang juga akan berpotensi menghambat realisasi. Pasalnya aplikasi tersebut tidak menawarkan keleluasaan bagi konsumen untuk memilih hunian yang diinginkan.
"Sistem ini menurut saya masih terlalu ketat, si konsumen enggak bisa ubah pilihannya, terkunci ketika sudah memilih rumah harus itu saja. Kalau mau pindah harus backtrack ke step 1 lagi. Jadi seolah-olah menghilangkan hak asasi manusia untuk memilih dan berpindah kan," ungkapnya.
Dia pun berharap agar pemerintah benar-benar siap dengan segala sistemnya sebelum meluncurkan kuota yang baru. Jangan sampai masyarakat berpenghasilan rendah malah merasa dipersulit untuk bisa memiliki rumah.