Bisnis.com, JAKARTA -- Kewenangan pemerintah pusat untuk menentukan fiskal daerah bakal semakin kuat. Melalui Omnibus Law Perpajakan, pemerintah hendak mengatur pajak daerah secara nasional.
Dalam Rancangan Omnibus Law Perpajakan yang diperoleh Bisnis, terdapat dua kewenangan baru yakni penentuan tarif atas pajak daerah secara nasional serta pelaksanaan evaluasi terhadap Perda yang menghambat kemudahan berusaha.
Pemerintah pusat bakal dapat menetapkan tarif tertentu yang berbeda dengan tarif pajak daerah yang telah ditetapkan dalam Perda. Penetapan tarif diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) dan Pemda wajib menerapkan tarif baru dalam waktu 3 bulan setelah Perpres ditetapkan.
Terkait evaluasi, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengevaluasi Rancangan Perda pajak daerah serta Perda dan aturan pelaksanaan pajak daerah yang telah ditetapkan.
Atas Rancangan Perda pajak daerah, diatur bahwa Rancangan Perda yang telah disetujui oleh DPRD dengan kepala daerah wajib disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.
Dalam hal ini, Menteri Keuangan mengevaluasi Rancangan Perda untuk menguji kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kebijakan fiskal nasional.
Baca Juga
Hasil evaluasi Menteri Keuangan diteruskan kepada Menteri Dalam Negeri dengan dua opsi rekomendasi. Pertama, penetapan Rancangan Perda dapat dilanjutkan karena sudah sesuai, atau kedua, rancangan Perda disesuaikan dengan hasil evaluasi karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kebijakan fiskal nasional.
Menteri Keuangan juga melakukan pengawasan dan melakukan evaluasi atas Perda pajak daerah yang telah berlaku dan disebutkan apabila hasil evaluasi menyatakan bahwa Perda pajak daerah menghambat kemudahan berusaha, maka Pemda wajib melakukan perubahan Perda atau aturan pelaksanaanya paling lama 6 bulan setelah terbitnya evaluasi.
Bagi Pemda yang tidak patuh, Menteri Keuangan dapat memberikan sanksi berupa penundaan ataupun pemotongan transfer ke daerah ataupun sanksi-sanksi yang lain.
Merujuk pada naskah akademik Omnibus Law Perpajakan, pemerintah berargumen bahwa pengaturan pajak daerah saat ini masih belum mampu mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam memberikan kemudahan berusaha kepada investor.
Akibat putusan Mahkamah Konstitusi No. 137/PUUXIII/2015 dan No. 66/PUU-XIV/2016, pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan Perda ataupun Peraturan Kepala Daerah.
Kala itu, UU Pemda memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk secara sepihak mencabut Perda yang dinilai dengan ketentuan di atasnya.
Lebih lanjut, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi Pemda yang kebijakan pajak daerahnya menghambat kemudahan berusaha.
Hingga saat ini, pemerintah pusat juga menilai bahwa Pemda masih belum mempertimbangkan dampak pajak daerah terhadap iklim investasi sebelum mengenakan pajak.
Berdasarkan kajian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), masih terdapat banyak daerah yang memaksimalkan tarif pajak daerah tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap ekonomi daerah. Kebanyakan kepala daerah masih cenderung ingin memaksimalkan pendapatan asli daerah (PAD) dengan menerapkan tarif maksimal yang terdapat dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Adapun pemberian insentif pajak daerah juga membutuhkan waktu yang lama karena harus ditetapkan dalam Perda yang melibatkan DPRD.
Dalam Rancangan Omnibus Law Perpajakan, disebutkan bahwa fasilitas pajak daerah kali bakal diatur melalui Peraturan Kepala Daerah. Fasilitas yang dapat diberikan bisa berupa keringanan, pengurangan, ataupun pembebasan pajak daerah.
Dengan ini, dapat disimpulkan bahwa ke depan Pemda tidak dapat lagi menaikkan tarif hingga mencapai batas maksimal sebagaimana yang tertuang dalam UU PDRD. Namun, Pemda diberikan ruang untuk memberikan fasilitas pajak dalam rangka meningkatkan investasi di daerahnya masing-masing.