Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan menengarai terjadinya pemborosan keuangan negara senilai Rp96,71 miliar akibat pengadaan obat-obatan yang tidak terdistribusikan dengan baik sepanjang tahun lalu hingga jatuh tenggat kedaluwarsa pada tahun ini.
Berdasarkan Laporan Keuangan Kementerian Kesehatan Tahun 2018 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diterima Bisnis, nilai tersebut terdiri dari pengadaan obat ARV senilai Rp90,48 miliar dan obat penambah darah senilai Rp6,23 miliar yang tidak termanfaatkan.
Anggota VI BPK Harry Azhar Azis mengungkapkan temuan itu didapatkan dari hasil pemeriksaan penatausahaan dan cek fisik tim BPK di gudang PT KF Pulogadung, Jakarta Timur. Dari pemeriksaan itu, ditemukan adanya masalah pada manajemen pergudangan yang dilakukan oleh PT KF, selaku distributor obat-obatan yang dikelola Kementerian Kesehatan.
“Jadi, [dalam] sistem pergudangan tersebut, obat yang masuk awal tidak dikeluarkan awal, sehingga beberapa obat akhirnya mendekati masa kedaluwarsa. Suka-suka orang gudangnya lah. [Akibatnya], terjadi pemborosan sampai Rp90 miliar-an,” kata Harry kepada Bisnis.com, Rabu (6/11/2019).
Penyebab lainnya adalah terjadi perubahan anjuran penggunaan obat oleh Organisasi Kesehatan Dunai (World Health Organization/WHO) yang menyebabkan obat-obatan yang sudah diadakan oleh Kemenkes menjadi tidak termanfaatkan.
Di samping itu, tutur Azhar, terjadi dugaan persaingan perusahaan farmasi yang juga turut menyebabkan pemborosan anggaran Kemenkes. “Namun, masih dugaan saja karena kami harus lakukan pemeriksaan lebih lanjut.”
Dalam hal ini, BPK menyatakan bahwa obat-obat yang sudah kedaluwarsa tersebut merupakan obat jenis ARV yang diperuntukkan bagi orang yang hidup dengan AIDS (ODHA), baik ARV dosis tunggal (single dose) maupun ARV kombinasi dosis tetap (fixed dose combination/FDC).
Dengan demikian, dia menyarankan agar masalah pemborosan anggaran tersebut menjadi perhatian bagi Menteri Kesehatan yang baru, Terawan Agus Putranto. “Kepada Menkes yang baru, kami mau ini diperhatikan karena kami akan lakukan pemeriksaan baru untuk 2019 pada 2020.”
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana justru mencurigai banyaknya obat jenis ARV yang kedaluwarsa disebabkan oleh kelebihan pasokan yang terlalu besar sehingga tidak semua bisa diserap oleh pasien.
“Kami curiga ini ada overstock yang besar sehingga obat yang sudah dibeli tidak mampu diserap. Apalagi, kedaluwarsa [terjadi pada stok obat] ARV single dose, padahal saat ini ODHA lebih memilih berobat dengan ARV yang tiga kombinasi dosis tetap [FDC],” kata Aditya kepada Bisnis.
Secara penggunaan, imbuhnya, konsumsi ARV FDC memang lebih efisien dibandingkan dengan ARV dosis tunggal. Sebab, penderita HIV/AIDS hanya perlu mengonsumsi ARV FDC 1 pil/hari. Sebaliknya, ARV dosisi tunggal harus diminum 3 pil/hari dari satu kombinasi yang terdiri dari 3 botol ARV.
Dari sisi harga, jelasnya, ODHA yang mengonsumsi ARV FDC hanya perlu mengeluarkan uang Rp405.000/botol. Sementara itu, ARV dosis tunggal harganya Rp545.220. Praktis, pasien harus mengeluarkan Rp1,63 juta untuk satu kombinasi ARV dosis tunggal.
Kendati ODHA lebih memilih ARV jenis FDC, sambungnya,pengadaan ARV dosis tunggal masih dilakukan dalam jumlah besar oleh Kemenkes. Dampaknya, pengadaan ARV dosis tunggal dalam jumlah besar itu akan menguntungka dua perusahaan farmasi milik negara.
“Karena distribusi ARV ini kan diduopoli oleh Kimia Farma dan Indofarma, dan buat mereka kalau jual lepasan [ARV dosis tunggal] jauh lebih untung. Saat ini baru Kimia Farma dan Indofarma saja yang menyuplai ke Kemenkes, makanya mereka bisa main harga. Kan ARV ini pembelinya tunggal, yaitu pemerintah.”
Sebagai informasi, hingga 2019, hanya 18% dari 640.000 ODHA yang sudah menggunakan obat ARV.
Saat dimintai konfirmasi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kemenkes Wiendra Waworuntu enggan menjelaskan masalah pemborosan tersebut. “Saya lagi di Amsterdam. Saya jelaskan nanti bersama Irjen saya dan BPK biar enggak salah ngomongnya,” tegasnya dalam pesan singkat.
Begitupun ketika Bisnis bertanya perihal proses distribusi obat untuk ODHA tersebut. “Saya lagi rapat, di Amsterdam. Nanti saja.”