Bisnis.com, JAKARTA -- Pelaku usaha masih merasa keberatan dengan besaran kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2020 yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Apalagi, pengumuman UMP/UMP di setiap daerah juga tinggal menghitung hari.
Sebagaimana aturan Kemenaker, pengumuman harus dilakukan paling lambat 1 November.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Harijanto mengatakan satu-satunya solusi yang bisa dilakukan oleh pengusaha adalah negosiasi bipartit dengan serikat pekerja.
“Ya jalan satu-satunya negosiasi bipartit, kalau sama-sama sepakat tidak masalah daripada perusahaannya kolaps kemudian ada PHK [pemutusan hubungan kerja],” tuturnya kepada Bisnis.com, Kamis (24/10/2019).
Menurut Harijanto pada prinsipnya masalah pengupahan yang ditetapkan oleh pemerintah harus mempertimbangkan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja khususnya lulusan sekolah menengah atas (SMA) atau di bawahnya.
“Karena daya beli akan meningkat kalo orang banyak yang bekerja, dibandingkan dengan kenaikan upah yang 8,5% tersebut karena jumlah pekerjanya makin kecil dan banyaknya PHK baik karena automation atau karena tutup.”
Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Perindustrian Johnny Darmawan mengatakan masalah pengupahan di Indonesia memang cukup pelik. Sebab, tidak ada sinkronisasi antara pengusaha dan serikat pekerja.
“Sebetulnya pengusaha gak happy karena itu [kenaikan UMP] sudah tinggi, tapi karena peraturannya gitu ya sudah kami ikuti,” kata Johnny.
Johnny menilai, PP No.78/2015 tentang Pengupahan sudah menjadi win-win solution antara tuntutan pengusaha dan serikat pekerja. Menurutnya, banyak pengusaha yang merasa pasrah dengan keputusan kenaikan UMP 2020.
“Waktu ngobrol-ngobrol banyak pengusaha bilang, ya sudah biar saja bangkrut, tetapi kalau bangkrut kan harus bayar pesangon, itu yang ditakutkan oleh pengusaha. Itu yang jadi dilematis, kalau aturannya gitu ya harus dibayar sesuai peraturan.”
Menurutnya, seharusnya pemerintah mengatur pesangon sesuai dengan kemampuan dari perusahaannya, termasuk berdasarkan dengan produktivitas pekerjanya.
Dalam hal ini, dia juga mengatakan masalah pengupahan menjadi salah satu faktor mengapa peringkat Indonesia dalam Ease of Doing Business (EoDB) stagnan dengan tahun lalu yaitu di peringkat 73. Namun, secara skor, dibandingkan tahun lalu, Indonesia mengalami penurunan 1,64 poin, dari 67,96 pada 2019 menjadi 69,6 pada 2020.
“Ongkos tenaga kerja itu salah satu kenapa EoDB kita stagnan. Kenaikan upah kita juga tinggi. Kalau dibandingkan dengan Vietnam, kita itu jauh lebih tinggi rata-rata kan Rp3,7 juta, kalau Vietnam kan rerata Rp2,6 juta sekian.”
Wakil Ketua Umum APINDO Shinta Widjaja Kamdani mengatakan pengaruh kenaikan upah jelas akan dibebankan kepada biaya produksi perusahaan. Konsekuensinya, apabila tidak terjadi peningkatan produktifitas, hal ini akan berimbas pada peningkatan harga barang di pasar atau pada penurunan margin pendapatan perusahaan.
“Pengaruhnya terhadap investasi akan semakin membuat kita sulit kompetitif dalam menarik investasi ke Indonesia karena saat ini pun perimbangan antara upah dengan produktifitas di Indonesia dengan di negara lain sudah kalah kompetitif sehingga banyak investor asing yang lebih memilih investasi di negara lain daripada kita,” kata Shinta.
Untuk itu, imbuhnya, pemerintah harus mempercepat pelaksanaan agenda reformasi ekonomi nasional tanpa ditunda lagi. Dari sisi investasi, pengusaha berharap UU Ketenagakerjaan bisa direview agar lebih merefleksikan perimbangan yang baik antara social safety net, tingkat upah, produktivitas dan fleksibilitas perubahan lapangan kerja & pasar tenaga kerja di era industri 4.0.
“Omnibus law yang merelaksasi restriksi investasi dari segi kebijakan maupun birokrasi juga perlu segera dirampungkan dan dijalankan dengan konsisten agar realisasi investasi di semua level pemerintahan (nasional, provinsi & bahkan kabupaten/kota) lebih cepat dan ada peningkatan efisiensi birokrasi yang signifikan bagi investor dalam maupun luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia.”