Bisnis.com, JAKARTA -- DPP Organda meminta pemerintah mengusut tuntas perkara penyelewengan Solar bersubsidi seiring dengan kian habisnya kuota BBM bersubsidi itu.
Sekretaris Jenderal Organda Ateng Haryono mengatakan, pengusuan itu diharapkan memberikan kepastian aktivitas di hilir seperti transportasi tidak terganggu.
Dia sempat mengajukan keberatan kepada Presiden Joko Widodo atas ketidaksesuaian antara surat edara (SE) dari Badan Pengelola Hilir (BPH) Migas dengan Perpres 191/2014.
"Kami dengar dari BPH Migas sendiri, akibat dari kuota yang sudah dipersiapkan terjadi penyimpangan dalam pendistribusian, silakan diusut dan penegakan, sehingga tidak mengggangu di sektor transportasi yang di ujung seperti kami," katanya kepada Bisnis.com, Kamis (3/10/2019).
Dia menegaskan sikapnya yang terpenting adalah Solar tersedia di seluruh stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dengan kualitas yang sesuai. "Artinya, kami sebagai konsumen dapat solar mutu baik di seluruh Indonesia," imbuhnya.
Selain itu, Ateng meminta kepastian harga. Dia menegaskan sulit ketika tidak ada kepastian harga Solar, seperti saat ini ada Solar subsidi, Solar industri dan jenis Solar dex. Menurutnya, lebih baik perbedaan harga ini dihilangkan saja, sehingga tidak terjadi potensi penyelewengan.
Sebagai pengguna, paparnya, pihaknya hanya tinggal menyesuaikan harga Solar dengan biaya produksinya sehingga akan terjadi penyesuaian tarif kepada masyarakat, baik untuk transportasi penumpang maupun barang.
"Kami sempat mengajukan keberatan kepada Presiden sudah ada Perpres bahan bakar jenis tertentu yakni Perpres No.191/2014. BPH Migas diatur penugasannya, atur distribusi di hilir, tiba-tiba keluarkan ketentuan seolah-olah beda dengan penugasan dia," terangnya.
Sebelumnya, BPH Migas mencabut surat edaran tentang pengendalian kuota jenis bahan bakar minyak tertentu 2019. Usulan pencabutan Surat Edaran No. 3865/Ka BPH/2019 datang dari keputusan hasil rapat pimpinan Kementerian ESDM pada 27 September 2019.
Dalam kesimpulan rapat tersebut disebutkan, untuk menjaga stabilitas di masyarakat, rapim meminta BPH Migas mencabut surat edaran tersebut.
Kesimpulan ini merujuk ketidakmampuan PT Pertamina (Persero) untuk menyalurkan solar nonsubsidi di setiap lembaga penyalur (SPBU) sebagai substitusi atas jenis BBM tertentu (JBT) jenis minyak solar.
Dijelaskan pula bahwa Pertamina melalui surat Direktur Utama Pertamina ke Menteri ESDM, menginformasikan adanya over kuota solar subsidi pada November 2019. “Sehubungan dengan angka 1 [satu] sampai dengan 7 [tujuh] di atas, dengan ini BPH Migas mencabut sementara Surat Edaran Nomor 3865 E/Ka BPH/2019 tentang Pengendalian Kuota Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu Tahun 2019,” tulis Surat Edaran No. 4487. E/Ka BPH/2019.
Kuota Solar bersubsidi tahun ini secara nasional sebanyak 14,5 juta kiloliter (KL) atau lebih kecil dibandingkan dengan 2018 sebanyak 15,62 juta KL dengan realisasi sebanyak 15,58 juta KL.
Sementara itu, realisasi penyaluran Solar bersubsidi per 25 September 2019 sebanyak 11,67 juta KL atau 80,46% dari kuota. Normalnya, realisasi per 25 September 2019 seharusnya sekitar 73,42% dari kuota.
Dalam SE yang ditetapkan pada 30 September tersebut, apabila tidak dilakukan pengendalian distribusi solar subsidi, maka berpotensi over kuota dengan prognosis sampai dengan Desember 2019 akan terealisasi sebanyak 16,07 juta KL atau kelebihan 1,57 juta KL dari kuota 2019.
Dengan dicabutkan SE No.3865/2019, Pertamina wajib menyalurkan solar bersubsidi 2019 dengan prinsip kehati-hatian, akurat, tepat sasaran, tepat volume dan dapat dipertanggungjawabkan untuk menjaga kuota JBT jenis minyak solar 2019.