Dalam perencanaan pembangunan infrastruktur di RPJMN 2015—2019 disebutkan, dari kebutuhan pendanaan infrastruktur sebesar Rp4.197 triliun, sebesar 55 persen di antaranya diharapkan dapat dicukupi dari investasi badan usaha swasta.
Untuk mewujudkannya, berbagai upaya pun dilakukan, mulai dari inovasi skema dan instrumen pendanaan, fasilitas yang ditawarkan, kemudahan perizinan dan lain-lain. Di antara berbagai upaya itu, salah satu yang dapat menjadi daya tarik bagi swasta adalah pembangunan dengan konsep transit oriented development (TOD).
TOD merupakan bentuk pemanfaatan kawasan dalam infrastruktur transportasi untuk kawasan komersial. Pada konsep ini, titik-titik tertentu, seperti pemberhentian stasiun, terminal, dan lainnya, dikembangkan menjadi sentra bisnis yang menghasilkan keuntungan ekonomi.
Konsep TOD kebanyakan ditujukan untuk sistem transportasi perkotaan yang terintegrasi dengan pemukiman dan pusat perbelanjaan, sehingga masyarakat yang tinggal di suatu kawasan TOD dapat menjangkau tempat kerja maupun tempat belanja dengan berjalan kaki, bersepeda maupun menggunakan transportasi massal yang ada.
Dengan demikian, penggunaan kendaraan pribadi dapat berkurang dan persoalan kemacetan maupun polusi udara dapat teratasi dengan lebih baik. Dam hampir banyak negara maju telah mengembangkan konsep tersebut.
Namun, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyaratakatan, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno mengatakan, penerapan konsep TOD yang diaplikasikan pada sejumlah titik di Indonesia, trerutama di Jabodetabek, dinilai masih banyak yang melenceng dari yang seharusnya.
Alasalnnya, dia mendapati masih terdapat sejumlah titik yang belum memenuhi semua syarat bahwa kawasan tersebut telah menerapkan konsep TOD dengan benar, yakni seperti terpenuhinya aspek angkutan umum, keterpaduan, fasilitas pejalan kaki, fasilitas pesepeda dan aspek peralihan moda.
“TOD yang sebenarnya adalah konsep pengembangan suatu wilayah yang berorientasi transit transportasi, yang lebih mengedepankan perpindahan antarmoda transportasi dengan berjalan kaki atau tidak menggunakan kendaraan bermotor. Namun, ini saya lihat masih banyak yang belum seperti itu,” jelasnya.
Menurutnya, konsep TOD di Indonesia diterjemahkan dengan hanya membangun apartemen dan gedung bisnis di stasiun kereta. Dia melihat bahwa pada saat ini, pemerintah di Jabodetabek terlihat hanya berperan sebagai pemberian izin bangunan semata.
Salah satu contoh yang disorotinya adalah, mengenai adanya gagasan akan perlunya disediakan ruang parkir di area TOD untuk memfasilitasi kendaraan pribadi warga.
“Ini justru bertentangan dengan tujuan dibangunnya TOD, yakni memudahkan masyarakat berpindah-pindah dengan beragam moda angkutan umum hanya dengan berjalan kaki saja atau sepeda dan meninggalkan kendaraan pribadi,” ujarnya.