Bisnis.com, TARAKAN -- Pembuangan limbah di Selat Malaka oleh kapal-kapal tidak dikenal menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi mandatori pengaktifan sistem identifikasi otomatis (AIS) bagi kapal yang berlayar di perairan Indonesia.
Direktur Kenavigasian Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Basar Antonius mengatakan bahwa kewajiban itu ditetapkan dalam rangka melindungi wilayah perairan Indonesia, baik dari luar maupun dalam, yang berpengaruh terhadap keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim.
Menurutnya, banyak kapal tidak teridentifikasi di Selat Malaka karena tidak mengaktifkan AIS. Kapal-kapal yang umumnya berukuran kecil itu membuang limbah saat arus mengarah ke perairan Indonesia.
"Kami cuma terbengong-bengong ketika perairan kita dilumuri minyak dari kapal-kapal yang awalnya kami kira hanya berlabuh di Malaka Strait," kata Basar saat sosialisasi aturan pengaktifan AIS kepada pelayaran dan masyarakat maritim di Tarakan, Senin (22/7/2019).
Menurutnya, kewajiban pengaktifan AIS yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No PM 7/2019 akan berlaku mulai 20 Agustus.
Beleid itu mewajibkan nakhoda mengaktifkan dan memberikan informasi yang benar pada AIS.
Bila AIS tidak berfungsi, imbuhnya, nakhoda wajib menyampaikan informasi kepada stasiun radio pantai (SROP) atau stasiun vessel traffic services (VTS) serta mencatat kejadian tersebut pada buku catatan harian atau log book kapal yang dilaporkan kepada syahbandar.
PM 7 juga mengatur dua jenis AIS. AIS Kelas A wajib dipasang dan diaktifkan pada kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan Konvensi Safety of Life at Sea (SOLAS) yang berlayar di wilayah perairan Indonesia.
Adapun, AIS Kelas B wajib dipasang dan diaktifkan pada kapal berbendera Indonesia yang meliputi kapal penumpang dan kapal barang nonkonvensi dengan ukuran paling rendah 35 GT, kapal yang berlayar lintas negara atau yang melakukan barter-trade atau kegiatan lain di bidang kepabeanan, serta kapal penangkap ikan berukuran paling rendah 60 GT.
Menurut Basar, sebelum beleid diundangkan 20 Februari, Kemenhub telah meminta masukan dari para pemangku kepentingan. Dari masukan-masukan itu, pemerintah melakukan penyesuaian hingga regulasi akhirnya diundangkan. "Jadi, pemerintah tidak serta-merta membuat aturan dengan tidak melibatkan stakeholder."