Saatnya Bekerja dengan Keras
Bisnis.com, JAKARTA -- Resesi global dan anjloknya harga minyak membuat pemerintah mulai mencari cara untuk menstabilkan perekonomian dan tentu juga menjaga stabilitas fiskal. Reaksi atau respons yang paling fundamental dilakukan.
Upaya mereformasi di bidang-bidang yang berperan cukup sentral dalam perekonomian misalnya ekspor-impor, investasi industri, termasuk pajak terus digencarkan.
Di sektor pajak, hanya berselang setahun setelah resesi menghantam perekonomian, pemerintah menyiapkan berbagai langkah. Sektor penerimaan nonmigas mulai digenjot. Sebagai hasilnya, pada 1983 pemerintah menerbitkan tiga undang-undang terkait perpajakan yang menjadi rujukan hingga saat ini.
Tiga undang-undang itu adalah UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagai dasar mekanisme pelaksanaan pemungutan pajak, kemudian UU Pajak Penghasilan (PPh), dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Reformasi pajak jilid I pun lahir.
Perluasan basis pemajakan juga digencarkan. Dalam dokumen APBN 1982/1983 secara eksplisit untuk mencari sektor penerimaan baru, pemerintah berupaya basis pengenaan pajak, meningkatkan administrasi pemungutan pajak, serta meningkatkan kesadaran membayar pajak ‘daripada’ masyarakat.
“Oleh karena itu sejalan dengan usaha untuk meningkatkan penerimaan negara dan memeratakan beban pajak maka peranan di luar minyak terus ditingkatkan,” tulis pemerintah dalam dokumen APBN 1982/1983.
Baca Juga
Sekilas apa yang terjadi 30 tahun silam tak jauh berbeda dengan diskusi yang berkembang saat ini. Dalam konteks ekonomi, diskusi masih berkutat pada bagaimana melepaskan jerat komoditas dan membangun struktur perekonomian yang lebih kuat.
Sementara itu, dari sisi pajak, lagi-lagi diskusi 30 tahun lalu masih menjadi pergunjingan sampai saat ini. Tak banyak berubah dan nyaris stagnan. Reformasi pajak yang hampir berjalan 3 tahun, juga tak banyak berdampak pada penerimaan pajak.
Pembahasan revisi tiga regulasi yang dibuat pemerintah 36 tahun lalu yanf juga telah dimasukkan ke DPR jauh sebelum gaung reformasi pajak digalakkan, tak pernah selesai dibahas. Belakangan, di tengah rapor merah penerimaan pajak yang semester I/2019 hanya tumbuh 3,75%, pemerintah justru banyak mengobral insentif.
Tujuannya mulia yakni untuk mendorong perekonomian. Harapannya setelah insentif diberikan, investasi masuk, industri mulai jalan, ujung-ujungnya dapat memberikan kontribusi ke penerimaan pajak yang lebih besar.
Akan tetapi mengobral insentif, tanpa mengubah regulasi pokok yang memang sudah ketinggalan zaman, bisa-bisa menjadi senjata makan tuan. Penerimaan amblas, sedangkan para pengusaha dengan bebas menikmati insentif yang diberikan pemerintah.
Oleh karena itu, langkah berani diperlukan untuk menuntaskan reformasi yang belum selesai itu. Jika 30 tahun lalu, pemerintah begitu responsif dan bisa menerbitkan tiga aturan secara berurutan, sekarang kenapa tidak?
Kalau kata Budiono: "Kita enggak bisa terlalu bersantai. Karena ekonomi dunia berjalan lebih cepat dibandingkan 80-an-90-an."