Bisnis.com, JAKARTA – Menjelang perhitungan final pemilihan umum dan pemilhan presiden pada akhir Mei 2019, pelaku properti mengharapkan perizinan untuk kepemilikan asing dibuat makin terbuka di Indonesia.
Ketua Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI) Lukas Bong mengatakan bahwa setelah permilihan umum, properti tetap akan menjadi salah satu sektor yang paling diperhitungkan, baik karena sebagai kebutuhan tapi juga sebagai salah satu instrumen investasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, katanya, sudah banyak pengembang asing yang masuk ke Indonesia. Mereka membangun untuk Indonesia, menjual untuk penduduk lokal dan bukan untuk orang asing. Ke depan, Lukas mengharapkan agar perizinan pemilikan properti bagi warga asing dan perizinan bisnis properti dari pengembang asing makin terbuka dan mudah.
“Harusnya kita belajar dari negara tetangga yang propertinya sudah lebih maju dari kita, misalnya Singapura, Malaysia, atau bahkan Bangkok dan Vietnam. Mereka lahannya jauh lebih kecil dari kita, tapi kepemilikan asingnya dibuka lebar-lebar,” ungkapnya kepada Bisnis, Minggu (21/4/2019).
Menurutnya, Indonesia begitu luas dan penduduknya banyak sehingga akan sangat menarik bagi investor. Dibandingkan dengan Singapura, misalnya, karena banyak permintaan lahan, negara itu terpaksa harus reklamasi. Harga lahan properti di Singapura per meter perseginya sangat mahal, tapi pembelinya tetap besar.
“Kenapa sih keran untuk asingnya dibuka terbatas, seperti apartemen hanya bisa di harga di atas Rp10 miliar. Kalau bisa lebih, tapi jangan kasih asing hak pakai yang cuma 20-25 tahun. Di Singapura hak pakai asing sampai 99 tahun, jadi di sini kalau bisa diperpanjang,” jelasnya.
Baca Juga
Lukas optimistis, begitu sektor properti menggeliat, investor yang masuk akan lebih banyak lagi, Indonesia akan jadi tempat yang menarik buat investor, terutama dari asing. Menurutnya, masyarakat sebaiknya jangan takut negara ini dikuasai asing.
“Ini sebenarnya pekerjaan rumah untuk teman-teman di properti, baik dari pengembang, agen properti, dan pemerintah, karena sebenarnya dengan masuknya asing bisa menciptakan lapangan kerja, tidak juga membuat properti kemudian jadi mahal,” sambungnya.
Menurutnya, dengan membuka kemungkinan hak milik jangka panjang bagi asing, pengembang maupun pemerintah bisa menaruh harga dan pajak yang cukup tinggi, khusus untuk dijual pada asing. Kemudian, dari harga dan pajak yang tinggi tersebut, disalurkan pemerintah untuk dijadikan subsidi silang.
Lukas menjelaskan, aliran dana dari rumah yang terjual untuk asing di Indonesia bisa untuk menjalankan Program Sejuta Rumah seperti yang ada saat ini.
“Kalau ternyata pemerintah belum tahu mekanismenya seperti apa, kami terbuka, mereka bisa dapat banyak informasi dari pengembang, atau dari agen properti, atau dari para wartawan, kami bisa bikin studi banding, itu upaya yang mudah dan murah kok,” imbuhnya.
Selain itu, untuk pengembang asing yang beroperasi di Indonesia, Lukas menyarankan agar masyarakat tidak berpikiran sempit, menganggap kehadiran asing di Tanah Air hanya untuk meraup keuntungan. Pasalnya, menurut Lukas, pengembang dan perusahaan asing lainnya justru merupakan yang paling taat pajak.
“Kehadiran asing juga kan bermanfaat untuk transfer teknplogi, cara pembangunan, dan desain yang bagus. Selama ini kita kalau bikin apartemen kan bentuknya gitu-gitu aja, begitu masuk asing sedikit bangunnya bisa bagus, cepat pengerjaannya, misalnya kita minimal 2 tahun ternyata asing bisa hanya 8 bulan, itu kan keuntungan buat kita juga.”