Bisnis.com, JAKARTA -- Kolaborasi antarperusahaan pelayaran nasional dinilai sebagai opsi rasional untuk merespons faktor risiko, kebutuhan pasar, dan regulasi kewajiban penggunaan kapal milik perusahaan domestik untuk mengangkut beberapa komoditas.
Namun, kolaborasi itu tidak harus dalam bentuk aliansi.
Pakar maritim dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya Raja Oloan Saut Gurning mengatakan pola kerja sama strategis entitas pelayaran (shipping strategic collaboration) bergantung pada level kompleksitas rencana kolaborasi yang akan diterapkan.
Dia menyebutkan sejumlah opsi kerja sama, mulai dari slot charter, kerja sama terbatas (conference), aliansi, kerja sama operasi jasa/KSO (pool arrangement), konsorsia, serta merger dan akuisisi (MA).
Jika sifatnya terbatas, maka pola kolaborasi yang dapat dilakukan adalah slot charter, conference, dan aliansi. Namun, jika pola integrasi ingin menjadikan kerja sama lebih dekat, maka pilihan bisa secara kontraktual ke arah KSO, konsorsia, atau MA.
"Sekarang saya pikir INSA sebelum melakukan rencana aksi penentuan tipe-tipe kolaborasi, maka mungkin lebih baik dipetakan terlebih dahulu kebutuhan mendesak apa yang menjadi prioritas," kata Saut, Minggu (31/3/2019).
Baca Juga
Pemetaan kebutuhan itu menyangkut apakah kolaborasi terbatas pada pemanfataan ruang kapal saja, atau merambah pada pengembangan aset, SDM, dan proses bisnis.
Selain itu, perlu dirancang lebih dahulu kepastian volume, proses bisnis, tingkat kinerja, level komersial, dan kepastian bisnis terkait rentang waktu kolaborasi --jangka pendek atau jangka panjang.
Jika jangka pendek, maka kerja sama yang sesuai adalah pola kolaboras terbatas (limited). Opsi ini masih memiliki ruang kompetisi antarpartner dalam menyediakan jasa.
Namun, jika kolaborasi berorientasi pada periode jangka panjang yang membutuhkan keseragaman mekanisme bisnis, aset, kompetensi SDM, dan bisnis proses, maka pilihan rasional cenderung mengarah ke pola yang bersifat fusi (gabungan/closed). Opsi fusi cenderung tidak membutuhkan kompetisi.
"Secara umum, opsi kolaborasi untuk penguatan armada CPO nasional perlu mempertimbangkan bagaimana profil volume dan nilai kargo yang akan dikerjasamakan, armada yang dibutuhkan [gap antara kebutuhan dan ketersediaan eksisting dalam negeri]; kompleksitas jasa yang akan disediakan, legalitas kepemilikan aset hingga tentunya bermuara pada daya saing logistik CPO nasional dibanding dengan operator di luar negeri yang eksis."
Sebelumnya, Indonesian National Shipowners Association (INSA) menantang anggotanya untuk membentuk aliansi pelayaran nasional, mengikuti tren global yang mengarah pada kolaborasi antar-shipping line.
Aliansi paling tidak membuat perusahaan pelayaran nasional go international dan mampu bersaing dengan pelayaran global lainnya, paling tidak di lingkup intra Asia pada tahap awal.
Perkembangan teknologi telah membuat ukuran kapal kontainer kian besar --saat ini kapal berkapasitas paling besar 21.413 TEUs milik OOCL Hong Kong-- yang pada gilirannya mendorong shipping line melakukan konsolidasi.
Hingga 2018, menurut Alphaliner, terdapat tiga aliansi utama shipping line yang hampir menguasai 80% pangsa pasar peti kemas dunia, yakni the Alliance, yang merupakan konsolidasi dari Ocean Network Express (ONE), Hapag-Lloyd, dan Yang Ming; Ocean Alliance yang terdiri atas OOCL, Cosco Shipping, CMA CGM, dan Evergreen; serta 2M yang merupakan aliansi Maersk Line dan MSC.
Selain mengekor tren global, aliansi shipping line domestik juga diperlukan untuk menghadapi penerapan Peraturan Menteri Perdagangan No 82/2017 yang mengatur kewajiban penggunaan kapal berbendera Indonesia untuk ekspor CPO dan batubara serta impor beras dan barang pengadaan pemerintah mulai 2020.