Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Asuransi Nelayan : Mengintip Perjuangan Perempuan Pesisir Pantura Jawa

Berkat kegigihan para nelayan perempuan serta advokasi dari Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), perjuangan mereka membuahkan hasil.
Nelayan tradisional membersihkan sampah dan lumpur yang menempel pada pukat tarik atau pukat darat di perairan pantai Kampung Jawa, Banda Aceh, Selasa (18/7)./ANTARA-Ampelsa
Nelayan tradisional membersihkan sampah dan lumpur yang menempel pada pukat tarik atau pukat darat di perairan pantai Kampung Jawa, Banda Aceh, Selasa (18/7)./ANTARA-Ampelsa

Bisnis.com, JAKARTA — Wajah 31 perempuan nelayan di Dusun Tambakpolo, Demak, Jawa Tengah tampak semringah. Perjuangan mereka selama 2 tahun akhirnya terbayarkan ketika mereka menerima kartu asuransi nelayan.

Selama 2 tahun menanti bukan waktu yang singkat. Namun, berkat kegigihan para nelayan perempuan serta advokasi dari Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), perjuangan mereka membuahkan hasil.

Masnuah, Sekjen PPNI menceritakan bahwa 31 perempuan nelayan ini harus melewati proses panjang dan melelahkan mulai dari perubahan identitas profesi dalam kartu identitas dari sebelumnya adalah ibu rumah tangga menjadi nelayan yang membutuhkan waktu hingga 9 bulan lamanya.

Pada saat bersamaan, untuk perubahan identitas profesi pun melewati berbagai perlawanan dari para pemangku kebijakan dari tingkat lokal hingga provinsi.

Mereka, kata Masnuah bahkan pernah menjadi bahan tertawaan para wakil rakyat di DPRD Jawa Tengah. Salah satu anggota malah menyebut jika profesi perempuan nelayan itu nista karena sejatinya perempuan harus di rumah dan dimuliakan. 

“Tentu pemikiran ini merupakan sebuah kesalahan besar dan fatal,” tuturnya, Minggu (24/3/2019).

Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat perempuan yang berprofesi sebagai nelayan justru memegang peranan penting dalam rantai produksi perikanan. Perempuan nelayan memiliki andil besar mulai dari pra, produksi hingga pasca produksi dengan jam kerja melebihi 17 jam.

Susan Herawati, Sekjen Kiara menuturkan bahwa 31 perempuan nelayan di Demak bukan sekadar istri dari nelayan, tapi mereka memang merupakan nelayan sejati, karena turut melaut dan memiliki peran penting baik di dalam ruang domestik maupun ruang publik.

“Sayangnya, Undang-Undang No 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam hanya mengakui kontribusi perempuan dalam rumah tangga nelayan. Negara keliru melihat bagaimana perempuan nelayan selama ini berjuang sejajar dengan nelayan laki-laki dalam memastikan kebutuhan protein bangsa,” ucapnya.

Mereka, para perempuan nelayan dari Dukuh Tambakpolo, Demak, itu bahkan sudah melaut sejak 30 tahun lalu. Hasil tangkapan mereka dijual hingga ke Kota Semarang. Namun pengabdian tersebut menurutnya, tidak pernah sekali pun mendapatkan fasilitas negara.

“Di sisi lain, pada 24 Maret 2019 ini, PPNI mampu mengakses bantuan bagi tiga kelompok perempuan pengolah terasi, fasilitas dua kelompok olahan laut mendapat cool box serta fasilitas pelatihan dan peralatan sarana produksi dari program tanggung jawab sosial BUMN,” paparnya.

Capaian yang diraih PPNI dan Kiara ini menurutnya merupakan potret pentingnya perempuan berorganisasi atau berkelompok. Dengan cara itu kelompok perempuan bisa punya daya tawar dalam keputusan-keputusan publik.

“Asuransi untuk nelayan perempuan itu mustahil kalau mereka tidak lebih dulu berorganisasi dan belajar bersama mengenali hak-hak ekonomi maupun sosial budaya” jelas Susan.

Dia pun mengatakan, saat ini, jangankan mendapat asuransi dan akses pada bantuan yang umumnya masih berorientasi gender-lelaki, selama ini bahkan di masyarakat dan di pemerintah pun paradigma nelayan itu selalu laki-laki. Perempuan, tuturnya, selalu dianggap sepi dan sebelah mata.

“Padahal perempuan juga banyak yang melaut. Tidak hanya menunggu hasil tangkapan para nelayan laki-laki,” tambahnya.

Karena itu, dia mengajak perempuan lain tidak hanya di pesisir tapi bisa dalam banyak profesi kerja lain untuk berorganisasi atau berkelompok karena di tengah masyarakat yang belum sepenuhnya adil gender, berserikat merupakan langkah politik dan sangat diperlukan supaya perempuan bisa mengakses hak-haknya sama dan sederajat seperti warga negara lain dari kalangan laki-laki.

Sebagaimana dipublikasikan oleh Sekertariat Negara, penerima program asuransi nelayan merupakan para penangkap ikan yang memenuhi syarat dan ketentuan seperti memiliki kartu nelayan, berusia maksimal 65 tahun, menggunakan kapal berukuran maksimal 10 gross ton, serta tidak pernah mendapatkan bantuan program asuransi dari pemerintah.

Adapun nilai manfaat setiap nelayan berupa santunan kecelakaan akibat aktivitas penangkapan ikan adalah Rp200 juta jika nelayan tersebut meninggal dunia, kemudian Rp100 juta jikalau mengalami cacat seumur hidup, dan Rp20 juta untuk biaya pengobatan.

Menariknya, tidak hanya ketika melakukan aktivitas penangkapan ikan, nilai manfaat asuransi juga mencakup kecelakaan di luar aktivitas penangkapan ikan dengan perincian, santunan Rp160 juta bila meninggal dunia, Rp100 juta kalau mengalami cacat tetap, dan Rp20 juta untuk biaya pengobatan.

Jangan khawatir, program jaminan perlindungan atas risiko nelayan, pelaku budi daya ikan dan petambak garam ini telah diperkuat melalui payung hukum Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18/2016.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper