Bisnis.com, JAKARTA - Kontribusi ekonomi PT Freeport Indonesia (PTFI) kepada induk usahanya, PT Inalum (Persero), dipastikan belum maksimal tahun ini mengingat adanya peralihan metode penambangan yang mengakibatkan anjloknya produksi pada tahun ini.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan berdasarkan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) yang telah disetujui pemerintah, produksi konsentrat PTFI pada tahun ini hanya sekitar 1,3 juta ton saja. Jumlah tersebut anjlok dibandingkan dengan realisasi produksi konsentrat tahun lalu sekitar 2,2 juta ton.
"Penurunan ya dikarenakan penambangan mereka berubah dari tambang terbuka ke underground. Dalam rangka persiapan itu produksinya turun kira-kira jadi 1,3 juta ton konsentrat dari 2,2 juta ton," katanya, Senin (11/3/2019).
Penurunan produksi tersebut akhirnya berdampak pada ekspor yang bakal turun drastis tahun ini. Jika pada periode ekspor sebelumnya, Februari 2018-Februari 2019, kuota ekspornya mencapai 1,25 juta ton konsentrat tembaga, maka kali ini kuotanya hanya 198.282 ton saja.
Adapun pasokan dalam negeri untuk PT Smelting masih tetap sekitar 1,1 juta ton.
Sebelumnya, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan selain menghadapi penurunan produksi PTFI, Inalum juga masih memiliki kewajiban untuk meneruskan kerja sama antara Rio Tinto dengan Freeport-McMoRan Inc. hingga 2022.
Adapun Inalum membeli 40% hak partisipasi Rio Tinto di PTFI untuk dikonversi menjadi saham. "Kita beli porsi Rio Tinto. Perjanjian Rio Tinto yang ada dipertahankan sampai akhir 2022," ujarnya.