Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo menjanjikan akan menaikkan harga patokan petani (HPP) gula kristal putih pada bulan ini guna meringankan beban petani tebu. Namun, sejumlah kalangan mendesak pemerintah agar lebih fokus memperbaiki tata kelola pergulaan nasional, daripada sekadar menaikkan HPP.
Rencana kenaikan HPP gula menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Rabu (6/3/2019). berikut laporannya.
Untuk merealisasikan janjinya, Presiden segera membentuk tim independen guna memutuskan besaran kenaikan HPP, yang direncanakan akan diumumkan pada bulan ini.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengungkapkan, tim independen tersebut akan terdiri dari akademisi, peneliti, dan petani gula.
“Intinya bagaimana kita membuat petani untung tapi konsumen tidak terbebani,” ujarnya saat mendampingi Presiden Joko Widodo dalam pertemuan dengan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) di Istana Negara, Selasa (5/3/2019).
Meskipun mengaku telah membahas beberapa langkah yang akan dilakukan untuk menyeimbangkan kepentingan konsumen dengan petani tebu, Amran enggan menyebutkan usulan besaran kenaikan HPP gula. “Tunggu tanggal mainnya. Kami akan sampaikan pada waktu yang tepat,” ujarnya.
Rencana kenaikan HPP GKP tersebut juga terkonfirmasi lewat pernyataan Ketua Umum Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil seusai bertemu Presiden.
“Kami butuh kepastian, dan Presiden menyanggupi dalam bulan ini. Presiden akan mengumumkan Maret ini,” ungkapnya.
Soal harga, dia mengaku menyerahkannya kepada tim independen yang dibentuk pemerintah. Namun, jika mengacu pada rekomendasi tim independen sebelumnya, harga HPP yang layak yakni sebesar Rp10.500/kg.
Arum mengatakan, pertanian tebu khususnya industri gula kristal putih, hampir tidak memiliki nilai ekonomi karena HPP saat ini berada di bawah harga produksi.
Saat ini, HPP gula ditetapkan sebesar Rp9.700/kg sesuai dengan Surat Edaran (SE) Menteri Perdagangan No. 885/M-DAG/SD/8/2017 tentang Pembelian dan Penjualan Gula oleh Bulog.
“Tadi kami sampaikan kepada Presiden agar semangat menanam tebu dan industri gula di dalam negeri bisa tumbuh dan berkembang, harus memiliki nilai ekonomi,” tegasnya.
Jika sudah diputuskan HPP gula dengan mempertimbangkan harga produksi saat ini dan kemampuan konsumen, dia juga meminta kepastian pembeli gula para petani.
“Kami juga meminta Presiden agar ada jaminan siapa yang belinya. Kepastian pembelian gula ini. Kami dorong agar Bulog diberikan penugasan,” ujarnya.
Bagaimanapun, desakan petani kepada pemerintah untuk menaikkan harga pokok petani HPP GKP dinilai bukanlah solusi paling jitu untuk memperbaiki pergulaan nasional.
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Kudhori mengatakan, kenaikan HPP menjadi solusi dan insentif bagi petani agar tetap mau menanam tebu. Namun, menurutnya, kebijakan itu hanya jangka pendek dan tidak berdampak signifikan terhadap pergulaan nasional.
“Tetapi pemerintah perhatikan kondisi di lapangan, petani saya rasa sudah tidak memegang gula lagi. Kalaupun HPP jadi dinaikkan, eksekusinya harus saat musim giling berjalan pada April-Mei,” ujarnya, Selasa (5/3).
Menurutnya, apabila HPP dinaikkan sebelum musim giling, maka keuntungan terbesar didapatkan oleh para pedagang.
Pasalnya, gula di petani saat ini mayoritas dipegang oleh pedagang. Alhasil, dampak keuntungan dari kenaikan HPP yang berpotensi diikuti oleh kenaikan harga eceran tertinggi (HET) gula akan dikantongi oleh pedagang.
Di sisi lain, dia menilai, kenaikan HPP tidak akan menambah keuntungan petani secara signifikan. Pasalnya, konsumsi per kapita masyarakat terhadap gula tidak mengalami pertumbuhan.
Menurutnya, permintaan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) untuk menaikkan HPP dari Rp9.700/kg menjadi Rp10.500/kg sesuai dengan biaya pokok produksi (BPP) petani, tidak akan meningkatkan keuntungan bagi petani.
PERBAIKAN PABRIK GULA
Oleh karena itu, dia meminta pemerintah lebih fokus memperbaiki tata kelola pergulaan nasional yang salah satunya melakukan perbaikan di sektor pabrik gula (PG).
Pasalnya, program revitalisasi pabrik gula yang dijalankan pemerintah selama ini tidak berjalan dengan baik. Dia menyarankan agar pemerintah secara berani menutup pabrik gula yang tidak lagi efisien dan sulit direvitalisasi. Sebagai gantinya pembangunan pabrik gula baru dapat menjadi solusinya.
Selain itu dia juga meminta pemerintah memastikan gula rafinasi tidak merembes ke pasar. Dengan adanya penurunan permintaan dan harga gula, terdapat kemungkinan pasar GKP diisi oleh jenis gula lain.
Untuk itu dia berharap pemerintah membentuk tim khusus pengawasan penggunaan gula rafinasi, agar tidak merembes ke pasar konsumsi.
Sementara itu, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman kebijakan kenaikan HPP dan berdampak kepada kenaikan HET tidak akan mendorong kesejahteraan yang berkelanjutan bagi petani gula secara signifikan. “Ketika HPP naik, harga gula di pasar juga akan naik. Dampaknya produk pangan yang mengandung gula juga akan naik. Jadi secara tidak langsung petani tidak mendapat margin keuntungan yang signifikan, karena mereka masih secara tidak langsung mengonsumsi gula yang mereka produksi,’ katanya.
Untuk itu, menuutnya, pekerjaan harus dituntaskan industri gula dan juga pemerintah adalah meningkatkan produktivitas gula.
Direktur Utama PTPN III Dolly Pulungan mengatakan, proses revitalisasi pabrik gula sejak 2016 telah menelan dana Rp4,7 triliun. Menurutnya, untuk merevitalisasi 32 pabrik gula hingga 2022 nanti, dibutuhkan dana Rp13 triliun.
“Kita hanya pernah menerima penyertaan modal negara (PMN) sebanyak Rp3,5 triliun. Selanjutnya kita pakai dana internal dan dari perbankan untuk revitalisasi,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Tjahya Widayanti mengatakan, permintaan petani menaikkan HPP merupakan hal yang wajar. Namun menurutnya, dampak dari kenaikan HPP juga harus ditakar.
“Petani boleh saja meminta kenaikan HPP. Untuk itu perlu dihitung apakah kenaikan HPP itu masih bisa untuk mencapai HET yag sudah ditetapkan pemerintah selama ini,” jelasnya.
Adapun, dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 58/2018 Tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian Di Petani dan Harga Acuan Penjualan Di Konsumen, harga eceran tertinggi (HET) gula ditetapkan Rp12.500/kg.