Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pekan Ini, Ekspor CPO dan Gas Bakal Dibebaskan dari Wajib LS

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menargetkan bahwa beleid yang mengatur penghapusan wajib dokumen laporan surveyor (LS) untuk dua komoditas, yakni crude palm oil (CPO) beserta turunannya dan gas dalam pipa dapat selesai minggu ini sehingga bisa segera diimplementasikan mulai pekan depan.
Minyak sawit/Istimewa
Minyak sawit/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menargetkan bahwa beleid yang mengatur penghapusan wajib dokumen laporan surveyor (LS) untuk dua komoditas, yakni crude palm oil (CPO) beserta turunannya dan gas dalam pipa dapat selesai minggu ini sehingga bisa segera diimplementasikan mulai pekan depan.

Susiwijono Moegiarso, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menyatakan bahwa hasil rapat teknis memutuskan rencana penghapusan LS akan di berlakukan untuk 4 komoditas, akan tetapi yang bisa langsung dilaksanakan sekarang baru dua komoditas, yakni CPO dan gas dalam pipa.

"Untuk kedua kelompok komoditi itu [CPO dan gas], targetnya minggu ini sudah selesai penyiapan Permendag, KMK dan PMK-nya sehingga minggu depan sudah bisa jalan," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (5/2/2019).

Selanjutnya, dia mengatakan untuk dua komoditas lain yang juga masuk dalam rencana penghapusan LS yakni rotan setengah jadi dan kayu log hutan industri, masih akan dilakukan kajian dan analisis lanjutan.

"Karena statusnya saat ini merupakan komoditi yang ekspornya dilarang atau diatur, sehingga perlu waktu untuk melakukan kajian yang lebih mendalam," terangnya.

Hal senada disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, bahwa yang sangat memungkinkan untuk diimplementasikan secepatnya adalah komoditas CPO dan gas dalam pipa.

"[Untuk empat komoditas itu] masih ada beberapa yang perlu kita pelajari, tapi arahnya itu dua dulu yakni CPO dan gas dalam pipa. Kalau untuk kayu gelondongan dan rotan masih dikaji, belum tentu akan dilaksankan. Tapi kalau kita anggap itu perlu, ya akan dijalankan," ujarnya Senin (4/2).

Darmin menegaskan bahwa dengan penghapusan kewajiban dokumen LS tersebut diharapkan dapat meminimalisir pengeluaran biaya-biaya atas pengurusan dokumen ekspor yang memang tidak diwajibkan LS untuk beberapa komoditas tersebut.

"Intinya kalau soal LS ini sangat selektif. Kalau enggak perlu, ya jangan. Artinya, kalau enggak perlu ya jangan dibuat keputusan wajib. Ini kan hanya nambah-nambah prosedur. Tapi kalau ada aturan yang perlu, ya maka harus wajib di survey," terangnya.

Terpisah, Sesmenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan bahwa kebijakan penghapusan wajib LS, terutama untuk komoditas CPO diharapkan bisa menekan biaya maupun waktu yang ditanggung eksportir, sehingga proses ekspor akan lebih efisien dan pada ujungnya dapat mendorong daya saing ekspor komoditas bersangkutan.

"Kalau dari sisi penghematan cost, data 2018, biaya yang dikeluarkan untuk pemeriksaan surveyor CPO bisa mencapai lebih dari Rp100 miliar per tahun. Sementara itu waktu yang dibutuhkan untuk proses ekspor CPO, dengan adanya LS rata-rata memerlukan sekitar 124 jam, sedangkan kalau dibebaskan dari dokumen LS ekspor bisa dibawah 10 jam," jelasnya.

Sementara untuk penghematan pada komoditas gas dalam pipa, pihaknya saat ini tengah meminta data detail ekspor kepada Ditjen Bea Cukai untuk menghitung dampak efisiensinya.

"Kalau untuk hitungan penambahan volume dan nilai ekspor, belum bisa disajikan dampak langsungnya, mengingat banyak faktor yang mempengaruhi ekspor terutama dari demand-side (harga komoditi di pasar global, kondisi ekonomi negara tujuan ekspor, ekonomi global, dan lainnya. Sedangkan efisiensi yang bisa dilakukan ini dari sisi supply-side," terangnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Muhammad Faisal menilai bahwa penghapusan LS untuk ekspor komoditas merupakan langkah mundur pemerintah, karena semestinya yang didorong adalah ekspor manufaktur.

"Pemerintah tidak punya arah kebijakan yang jelas untuk mendorong ekspor manufaktur, malah kepentingan jangka pendek dengan mendorong ekspor komoditas. Padahal dengan harga komoditas yang melemah di pasar global semestinya supply komoditas di dalam negeri lebih baik diprioritaskan untuk pemenuhan dalam negeri saja," ujarnya, Selasa (5/2).

Faisal mencontohkan untuk komoditas CPO saat ini pasokannya masih oversupply di pasar dunia. “Semestinya yang didorong adalah pemenuhan program biofuel di dalam negeri, sedangkan untuk pasar ekspor semestinya yang didorong adalah turunan CPO," ujarnya.

Demikian pula untuk ekspor kayu log, lanjut Faisal, adalah juga merupakan langkah mundur kembali ke era tahun 80-an.  "Padahal cadangan kayu log kita semakin menipis, banyak hutan yang sudah habis atau deforestasi akibat didorong ekspor kayu log selama berpuluh-puluh tahun terakhir."

Menurutnya, eskpor kayu log malah akan mendorong industrialisasi di negara lain Karena kayu log yang diekspor tersebut akan dimanfaatkan oleh negara-negara pengimpor untuk mengembangkan industri turunan kayu mereka.

“Seperti furnitur yang harga jualnya justru berpuluh kali lipat dibanding harga kayu log yang belum diolah," tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper