Bisnis.com, JAKARTA - Staf Khusus Presiden, Ahmad Erani Yustika menilai kritik yang disampaikan oleh majalah berbahasa Inggris "The Economist" terhadap kinerja pemerintah Indonesia tidak berdasarkan data yang akurat.
"Kami mengapresiasi atas kritik yang disampaikan oleh The Economist, namun banyak dari kritik itu yang perlu diklarifikasi karena tidak didasarkan kepada data yang akurat dan peta komprehensif atas kemajuan ekonomi Indonesia dari waktu ke waktu," kata Ahmad Erani Yustika dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (27/1).
Menurut Erani, The Economist mengkritik pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla karena menekankan pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan mengedepankan geliat investasi menarik investor.
Majalah tersebut pada pekan lalu membuat tulisan tentang kritik janji kampanye Presiden Joko Widodo untuk memberikan pertumbuhan PDB sebesar 7% per tahun pada akhir masa jabatan pertamanya. Namun realisasinya hanya sekitar 5%. Prospek untuk 2019 juga terlihat tidak lebih baik, terutama karena Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga enam kali dalam sembilan bulan terakhir untuk menahan penurunan rupiah.
Kritikan kedua adalah soal rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia yang memiliki kualifikasi yang baik. Hal ini dikeluhkan oleh para pebisnis tentang kurangnya pekerja Indonesia yang terampil. Meski 20% anggaran APBN untuk pendidikan namun standar pendidikan di Indonesia masih rendah.
The Economist juga melihat tingginya upah tenaga kerja Indonesia. Upah pekerja manufaktur Indonesia 45 persen lebih tinggi dari Vietnam karena kebijakan populis Pemerintah Daerah (Pemda) yang sebagian besar merupakan politikus untuk mengangkat suara mereka.
Baca Juga
Kritikan lainnya adalah dalam hal belanja anggaran karena pada awalnya pemerintahan Jokowi-JK. Awalnya Jokowi fokus untuk pembangunan infrastruktur namun dalam anggaran 2018, The Economist melihat modal untuk infrastruktur justru menurun, digantikan dengan belanja subsidi.
Menanggapi kritikan itu, Erani mengatakan indikator-indikator makroekonomi Indonesia tetap solid dan cenderung membaik. Beberapa indikator yang dimaksud adalah tren pertumbuhan ekonomi Indonesia justru naik dari 5,01% pada 2014 menjadi 5,17% pada 2018 (triwulan III).
Tren pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan penurunan sejak 2011 hingga 2015. Pada 2011, pertumbuhan ekonomi mencapai 6,4% dan turun menjadi 4,9% pada 2015; setelah itu pertumbuhan ekonomi menanjak kembali secara perlahan di saat negara lain pertumbuhan ekonomi makin turun, termasuk China.
"Kualitas pertumbuhan ekonomi membaik. Untuk pertama kalinya sejak 2016 pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan secara bersamaan. Seperti diketahui, pada periode 2005-2014 ketimpangan pendapatan terus meningkat," tambah Erani.
Kemiskinan turun dari 11% (2014) menjadi 9,6% (2018). Pengangguran turun dari 5,94% (2014) menjadi 5,3% (2018). Ketimpangan pendapatan turun dari 0,4 (2014) menjadi 0,38 (2018).
Erani mengakui bahwa kondisi ekonomi dunia tidak berada dalam kondisi bugar selama 2018, sehingga memaksa sebagian besar negara menggunakan kebijakan yang cenderung ketat agar stabilitas ekonomi terjaga.
Menurut data Bank Indonesia, suku bunga acuan di Turki naik dari 8,25 persen pada Januari 2018 menjadi 24 persen pada Desember 2018. Korea Selatan naik dari 1,5% menjadi 1,75%; Hong Kong naik dari 1,75% menjadi 2,75%. India naik dari 6% menjadi 6,5%; Filipina naik dari 3% menjadi 4,75%; Argentina naik dari 26,28% menjadi 60,31%; dan Meksiko naik dari 7,25% menjadi 8,25%.
Selain lewat kebijakan moneter, pemerintah juga mengeluarkan beberapa langkah untuk menguragi tekanan pada neraca transaksi berjalan, seperti menaikkan PPh barang impor, penggunaan B20 untuk mengurangi impor BBM.
Menanggapi kritik soal infrastruktur, Erani mengatakan dalam beberapa tahun masa jabatannya, Jokowi bisa menyelesaikan pembangunan yang tertunda bertahun-tahun lamanya dan membangun apa yang belum ada.
Berdasarkan rilis World Economic Forum 2017-2018, infrastruktur bukan lagi menjadi tiga masalah utama daya saing di Indonesia. Pembangunan infrastruktur pun telah menempatkan Indonesia menjadi negara yang berdaya saing.
Tanggapan berikutnya berkaitan dengan ketenagakerjaan di Indonesia yang disebut The Economist masih belum terampil, bahkan menuntut upah yang tinggi, Erani mengatakan porsi tenaga kerja formal justru meningkat. Pada Agustus 2014, porsi pekerja formal mencapai 40% dan meningkat menjadi 43% pada Agustus 2018. "Hal ini menggambarkan kualitas tenaga kerja semakin membaik," ungkap Erani.
Produktivitas tenaga kerja Indonesia pada kenyataannya terus meningkat. Data ILO menunjukkan produktivitas pekerja pada periode 2014-2018 tumbuh sebesar US$1.408 atau 18%. Peningkatan itu masih lebih baik dari periode 2009-2013 yang hanya naik sebesar US$1.122 atau 17%.
Pemerintah, menurut Erani, tidak hanya menitikberatkan pada aspek produktivitas semata, namun juga fokus pada peningkatan kualitas SDM agar dalam jangka panjang produktivitas tenaga kerja semakin baik.
"Pemerintah juga terus berupaya meningkatkan upah minimum sebagai komitmen mendorong produktivitas yang disesuaikan dengan kemampuan pelaku industri. Rata-rata upah minimum provinsi (UMP) secara nasional sepanjang 2014-2019 naik 60%," tegas Erani.