Bisnis.com, JAKARTA— The Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW) memperkirakan tingkat PDB untuk kawasan Asia Tenggara melambat menjadi 5% pada tahun depan, dari perkiraan 5,3% pada tahun ini.
Kendati konteks makroekonomi global masih konstruktif, lembaga analisa ekonomi dengan 144 ribu anggota tersebut menyampaikan, perlambatan PDB tersebut disebabkan oleh dampak perselisihan dagang antara AS dan China serta mengetatnya kondisi keuangan global.
“Kami memperkirakan tensi AS—China dan akibatnya pada perlambatan permintaan China akan membebani pertumbuhan Asia Tenggara secara signifikan, khususnya Singapura dan Malaysia, di mana hubungan dagang dengan China sangat kuat. tapi, Indonesia dan Filipina tidak akan terlalu berdampak,” tulis ICAEW dalam laporannya, ICAEW: Economic Insight Q4 2018 Asia Tenggara yang dirilis Kamis (5/12/2018).
ICEAW mencatat, akibat perang dagang, PDB Malaysia dapat turun 0,4% dan PDB Singapura turun 1% pada 2020. Sementara Indonesia dan Filipina diperkirakan masih aman.
Adapun sebagian besar negara-negara di kawasan Asia Tenggara memang sangat bergantung dengan kinerja ekspor, khususnya ke China.
Oleh karena Malaysia dan Vietnam merupakan pengekspor terbesar ke China, dengan nilai ekspor berkontribusi sebesar 10,7% dan 10,3% terhadap masing-masing PDB pada 2017, kedua negara tersebut menjadi yang paling rentan karena perlambatan ekonomi di China akan mempengaruhi pertumbuhan di Asia Tenggara secara signifikan pada tahun depan.
Baca Juga
“Kami memperkirakan ekonomi Asia yang berhubungan dekat dengan China dapat terpukul keras akibat perang dagang,” tulis ICEAW.
Kendati pertumbuhan ekspor berubah moderat dan dampak perang dagang diperkirakan semakin terasa pada tahun depan, ICEAW mengungkapkan, permintaan domestik masih menjadi mesin pertumbuhan dan penyangga perekonomian di kawasan Asean .
ICEAW memaparkan, pengeluaran fiskal masih akan kuat di Indonesia, Thailand, dan Fiipina menjelang Pemilu pada paruh pertama 2019.
“Pemerintahan di kawasan [Asia Tenggara], termasuk Indonesia dan Malaysia, akan melewatkan target konsolidasi fiskal pada 2019. Sementara Vietnam, di mana posisi fiskalnya semakin meningkat, kami melihat ruang terbatas untuk ekspansi fiskal pada tahun depan,” tulis ICEAW.
Namun demikian, ICEAW mengingatkan, laju pertumbuhan permintaan domestik tampak tidak melaju seperti 2018 pada tahun depan, sebagian karena berkurangnya dukungan dari kebijakan moneter.
Sejauh ini, bank sentral Indonesia dan Filipina telah menjadi yang paling agresif dalam menaikkan suku bunga untuk menopang nilai mata uangnya.
ICEAW pun memperkirakan pada 2019, kedua bank sentral tersebut masih akan terus berada dalam jalur pengetatan.
“Akan tetapi, perkiraan kenaikan suku bunga ini bukan karena tekanan inflasi tapi karena mempertimbangkan stabilitas keuangan; baik yang berasal dari meningkatnya suku bunga AS maupun perkembangan internal,” catat ICEAW.
Untuk Indonesia, ICEAW menilai, tekanan terhadap arus modal dan risiko dari melemahnya rupiah akan terus membuat Bank Indonesia bernada hawkish. Tingkat PDB Indonesia pun diperkirakan ICEAW tumbuh tetap di level 5,1% pada tahun ini dan tahun depan.
“Tentu saja, kami percaya mata uang [rupiah] akan tetap berada di bawah tekanan depresiasi karena defisit neraca berjalan kian melebar (tidak lagi tertutupi oleh arus modal masuk seperti 2017),” tulis ICEAW.
Adapun Indonesia memang semakin tertekan oleh faktor eksternal karena perekonomiannya sangat bergantung dengan laju arus modal asing. Sementara itu, kepemilikan obligasi yang juga banyak dimiliki oleh asing, mendekati 40%, semakin membuat mata uang rupiah rentan di mata investor.
“Selanjutnya, kami memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga hingga 50 bps lagi pada tahun depan untuk mestabilkan rupiah terhadap risiko kenaikan suku bunga AS,” tulis ICEAW.
ICEAW pun memperkirakan pair rupiah-dolar AS berada di level 14.980 pada akhir 2018. Sementara pada akhir 2019, dengan dukungan dari stabilnya nilai yuan, rupiah diperkirakan menguat tipis terhadap greenback menjadi 14.800.