Bisnis.com, BADUNG – Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia mengungkapkan nilai harga jual perumahan subsidi pada 2019 yang belum diputuskan hingga sekarang cukup mengganggu iklim penyediaan rumah rakyat.
Ketua Umum DPP Real Estate Indonessia (REI) Soelaeman Soemawinata mengatakan pada 2017 REI sukses membangun 206.290 unit rumah subsidi. Sementara itu, diprediksi pada 2018 target membangun 230.000 rumah subsidi tidak akan tercapai lantaran dipengaruhi kondisi masing-masing daerah. Walaupun, diprediksi realisasi pembangunan rumah subsidi mampu mencapai 200.000 lebih hingga akhir 2018.
“Tapi kita [pembangunan] tetap akan melebihi 200.000 [rumah subsidi], karena per September kemarin saja sudah hampir 168.000, ada lonjakan di Jawa Timur targetnya 16.000 jadi 25.000, ada penurunan di Bali dari 3.000, jadi 2.000, kurang lebihnya akan mencapai 200.000 lebih,” katanya, Rabu (5/12/2018).
Selain persoalan harga jual, lanjutnya, beberapa regulasi juga dinilai menyulitkan iklim penyediaan rumah rakyat. Seperti Kepmen 403/2002 yang mengatur tentang teknis bangunan penyediaan perumahan subsidi, Permen Akreditasi dan Registrasi Asosiasi Pengembang Perumahan, serta Sertifikasi dan Registrasi Pengembang Perumahan, dan Permen PUPR tentang Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS).
Regulasi tersebut dinilai cukup meresahkan pengembang swasta sebagai mitra pemerintah untuk dapat berinovasi menyediakan hunian rakyat.
“Kami juga mengharapkan pemerintah dapat menjaga iklim berusaha yang kondusif, sehingga REI bisa tetap menunjukkan kontribusinya bagi bangsa dan negara sesuai kompetensi kami sebagai pengembang perumahan,” katanya.
Soal perijinan di daerah juga dinilai cukup mempengaruhi pengembang. Sebab, tidak semua daerah menerapkan perijinan sebagaimana mestinya. Apalagi 95% lebih ijin pembangunan properti berada di daerah, yakni mulai dari ijin lokasi hingga pendirian bangunan.
“Perijinan di seluruh daerah tidak sama, ada yang sudah melakukan dengan baik, tapi masiih juga ada daerah yang juga masih belum bisa memahami industri properti ini dilayani dengan baik,” katanya.
Kata dia, tata ruang yang cepat berubah juga cukup menyulitkan pengembang. Sebab, kerap kali ijin lokasi sudah diterima namun ijin mendirikan bangunan tidak bisa dilakukan karena tempat tersebut telah menjadi kawasan hijau.
“Ada kejadian di Kalimantan Selatan, ada hal seperti itu, saya kira ini menjadi hal sangat penting,” katanya.
Dia mengapreasi langkah pemerintah dalam menyediakan 8.500 juru ukur pertanahan untuk memudahkan pengembang dalam menuntukan luas, letak, dan posisi. Selain itu, percepatan infrastruktur juga telah mendukung pengembang.
“Backbone Sumatera dikerjakan terus, backbone Jawa saat ini mungkin akan selesai, dan saya kira ini pencapain yang sangat extraordinary,” katanya.