Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Neraca Dagang Masih Defisit, RI Perlu Genjot Perdagangan Langsung dengan Selandia Baru

Neraca perdagangan Indonesia dengan Selandia Baru semakin membaik, ditandai terus berkurangnya porsi impor Indonesia ke negara itu.
Dubes Tantowi Yahya bersama Ketua DPR Bambang Soesatyo berpose dengan latar belakang ilustrasi 7 Presiden RI dari Soekarno hingga Joko Widodobersama Ketua DPR Bambang Soesatyo berpose dengan latar belakang ilustrasi 7 Presiden RI dari Soekarno hingga Joko Widodo di Kedutaan Besar RI di Wellington Selandia Baru. JIBI/BISNIS-Arif Budisusilo
Dubes Tantowi Yahya bersama Ketua DPR Bambang Soesatyo berpose dengan latar belakang ilustrasi 7 Presiden RI dari Soekarno hingga Joko Widodobersama Ketua DPR Bambang Soesatyo berpose dengan latar belakang ilustrasi 7 Presiden RI dari Soekarno hingga Joko Widodo di Kedutaan Besar RI di Wellington Selandia Baru. JIBI/BISNIS-Arif Budisusilo

Bisnis.com, WELLINGTON -- Neraca perdagangan Indonesia dengan Selandia Baru semakin membaik, ditandai terus berkurangnya porsi impor Indonesia ke negara itu. 

Namun, Indonesia masih berupaya keras untuk mengusahakan perdagangan langsung produk unggulan ke negara tersebut.

Menurut Duta Besar Republik Indonesia untuk Selandia Baru Tantowi Yahya, upaya meningkatkan hubungan dagang ke Selandia Baru masih terkendala porsi reekspor "made in" Indonesia melalui pihak ketiga di Singaoura dan Malaysia.

"Kita mesti mengusahakan sebisa mungkin perdagangan langsung produk unggulan ke sini," kata Tantowi di Wellington, sesaat sebelum menuju Queenstown, Minggu (11/11).

Tantowi memberikan contoh, produk ban semestinya bisa menjadi unggulan ekspor Indonesia, selain alat pertanian, fertilizer dan batubara.

"Ban itu kita unggul. Yang paling dekat bisa suplai hanya Indonesia dan Malaysia," katanya.

Kendati begitu, kebanyakan produk Indonesia itu masih reekspor oleh pihak ketiga dari Malaysia dan Singapura, meski barangnya adalah made in Indonesia.

"Ini yang perlu diatasi, dengan berbagai alasan," kata Tantowi tanpa menyebutkan angka porsi produk reekspor tersebut.

Tantowi sebelumya mengatakan kepada Bisnis, nilai perdagangan Indonesia dengan Selandia Baru terus meningkat, saat ini mencapai NZ$1,8 miliar. Nilai perdagangan itu naik dari NZ$1,4 miliar saat dirinya mulai menjabat sebagai Dubes pada April 2017.

Dia optimistis pada akhir tahun depan atau awal 2020, nilai perdagangan Indonesia-Selandia Baru akan meningkat menjadi NZ$3 miliar, mendekati target Presiden Joko Widodo sebesar NZ$4 miliar pada 2024.

Tantowi menjelaskan, dari total perdagangan tersebut, sekitar 40% adalah ekspor dan 60% adalah impor. Porsi tersebut terus membaik. Semula impor Indonesia mencapai 70%, katanya.

Ke depan, Tantowi optimistis ekspor indonesia akan terus meningkat. KBRI, jelasnya, melakukan upaya promosi perdagangan yang lebih agresif untuk produk unggulan non komoditas.

Dalam kaitan itu, Sabtu pekan lalu, Dubes Tantowi didampingi Ketua DPR Bambang Soesatyo, Pengusaha Rachmat Gobel dan Bupati Bone Bolango Hamim Pao, meresmikan Graha Gorontalo dan Ruang Papua di kompleks KBRI. 

Graha Gorontalo dibangun atas kontribusi Rachmat Gobel. Bersama Ruang Papua, Ruang Sriwijaya dan Ruang Jawa di kompleks tersebut, KBRI akan menjadi etalase bagi peningkatan komoditas ekspor Indonesia. 

Menurut pengusaha Rachmat Gobel, fungsi KBRI sebagai ujung tombak pemasaran telah mulai dirintis sejak dirinya menjabat sebagai Menteri Perdagangan di awal pemerintahan Presiden Jokowi.

Karenanya KBRI perlu menyediakan ruang promosi yang layak, untuk memudahkan pengusaha setempat menjalin kerjasama bisnis dengan Indonesia.

Genjot Produk Unggulan

Selama ini ekspor Indonesia didominasi komoditas ampas kelapa sawit untuk bahan pakan ternak, namun berangsur bergeser ke produk lain seperti alat pertanian, ban mobil, dan produk konsumer seperti Kopi Mandailing.

Selain itu, Tantowi berharap perusahaan swasta produsen alat pertanian, termasuk Astra, lebih agresif melakukan penetrasi ke Selandia Baru.

Di sisi lain, impor Indonesia dari Selandia baru saat ini didominasi dairy product termasuk susu dan daging sapi.

Bahkan hampir 80% dairy product kategori susu yang dikonumsi di Indonesia berasal dari Selandia Baru.

Sedangkan untuk impor daging sapi, saat ini belum sepenuhnya "normal" menyusul sengketa yang terjadi di WTO pasca Indonesia menerapkan UU Ketahanan Pangan yang membatasi impor dagng sapi dari Selandia Baru.

Sebelum UU Ketahanan Pangan berlaku sampai 2009, Indonesia adalah importir daging sapi terbesar kedua setelah Amerika Serikat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Arif Budisusilo
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper