Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pengusaha dan pemerintah untuk fokus pada antisipasi dan memperkuat kebijakan dalam negeri, meskipun perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China telah mereda.
Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani menyebut bahwa tidak ada kepastian dan keputusan final dari kondisi perang dagang saat ini. Sebab, dia melihat baik AS maupun China masih dapat mengubah keputusan dan kebijakan negaranya.
"Jadi kalau menurut saya, kita juga jangan terlalu tergantung dengan kesepakatan-kesepakatan yang belum jelas," kata Shinta dalam konferensi pers Apindo, Selasa (13/5/2025).
Untuk itu, menurut Shinta, Indonesia harus fokus menurunkan tarif resiprokal yang diterapkan AS atas barang asal Indonesia sebesar 32%, meskipun pemberlakuannya masih ditunda dalam 3 bulan ke depan.
Pihaknya juga masih ikut berupaya agar negosiasi AS-RI untuk penurunan tarif atau bahkan dihilangkan tarifnya dapat terwujud. Namun, Indonesia juga tetap harus mewaspadai jika AS tetap menerapkan tarif tinggi untuk seluruh negara.
"Tapi mengantisipasi bahwa Amerika dan China ini. Bayangin saja, dari 145% bisa turun all the way ke 30%. Jadi mungkin saja ini semua cuma strategi Trump, bisa-bisa akhirnya semua negara cuma kedapatan 10%, bisa juga gitu ya," tuturnya.
Baca Juga
Dalam hal ini, Shinta menyoroti kebijakan dan pengamanan pasar dalam negeri. Sebab, konsumsi rumah tanggan yang paling berkontribusi terhadap ekonomi nasional saat ini, bukan ekspor.
Di tengah tantangan, Apindo meilhat Indonesia masih memiliki peluang untuk merebut pangsa pasar ekspor di Amerika Serikat, terutama untuk produk pakaian dan alas kaki.
Sebab, penerapan tarif tinggi oleh AS terhadap produk dari Tiongkok (145%), Vietnam (46%), dan Bangladesh (37%) membuka celah bagi Indonesia yang tarifnya relatif lebih rendah (32%). Misalnya, Indonesia menyumbang 4,9% dari impor pakaian rajutan AS, masih jauh di bawah Tiongkok (22%) dan Vietnam (18%).
Hal serupa juga terjadi di segmen alas kaki, di mana Indonesia menguasai 9% pasar AS, lebih rendah dibanding Tiongkok (36%) dan Vietnam (32%). "Ini menandakan ruang pertumbuhan yang dimanfaatkan melalui kebijakan yang mendukung peningkatan daya saing dan penguatan akses pasar," ujarnya.
Dalam menghadapi dampak perang dagang AS–Tiongkok, pihaknya telah menyampaikan sejumlah usulan respons cepat (immediate responses) kepada pemerintah, baik melalui forum formal seperti Sarasehan Ekonomi bersama Presiden RI dan Kemenko Perekonomian, maupun secara tertulis.
Pertama, Apindo mendorong pengurangan defisit perdagangan dengan AS melalu peningkatan impor komoditas tertentu dari AS yang tidak mengganggu industri dalam negeri, seperti kapas, kedelai, produk susu, jagung, gandum, etanol, LPG, dan crude oil.
Kedua, penguatan hubungan dagang strategis dengan AS perlu terus diintensifkan, termasuk melalui mekanisme seperti TIFA, limited trade deal, dan kerja sama tematik di sektor energi, mineral kritis, serta farmasi.
Ketiga, Apindo menilai pentingnya ekspansi pasar ke kawasan potensial seperti Asean, Timur Tengah, Amerika Latin, dan Afrika, serta optimalisasi berbagai perjanjian dagang bilateral, regional, dan multilateral seperti PTA, FTA, CEPA, ASEAN+1, RCEP, dan percepatan penyelesaian IEU–CEPA dan I–EAEU CEPA.
Keempat, pemerintah perlumenurunkan hambatan non-tarif seperti persyaratan local content, sertifikasi halal, dan izin impor.
Terakhir, pengamanan pasar domestik menjadi krusial dengan memperkuat mekanisme trade remedies seperti anti-dumping, countervailing duties, dan safeguard measures untuk mencegah limpahan barang murah dari negara yang terdampak tarif AS, terutama China, yang berisiko merusak harga dan menciptakan persaingan tidak sehat.