Bisnis.com, JAKARTA - “Korean Wave,” sebuah tren penyebaran budaya populer asal negara ginseng di kalangan generasi milenial saat ini kian digemari.
Dampaknya, bintang musik AS yang dulu pernah populer di Filipina kini harus bersaing idola K-Pop terbaru untuk mendapatkan perhatian para penggemarnya.
Ekspor budaya Korea Selatan mencapai nilai $ 8.2 milyar pada tahun 2017. Korean Wave, atau yang dikenal sebagai Hallyu dalam bahasa Korea, juga telah berkontribusi dalam mendorong pertumbuhan industri pariwisata dan memberikan dampak positif lainya terhadap Korea.
Sementara itu, Filipina saat ini sedang memerlukan penggerak ekonomi baru. Pasalnya, ekspansi dalam bidang Business Process Outsourcing (BPO) dan overseas remmittance (pengiriman uang ke luar negeri) yang merupakan penghasil devisa utama dalam negeri ini mulai melambat perkembanganya.
Industri BPO semakin menghadapi tantangan seiring dengan perkembangan kecerdasan buatan (AI) dan adanya usulan rasionalisasi insentif bagi investor asing di sektor ekonomi. Di sisi lain, industri overseas remmittance mulai terhambat akibat jatuhnya harga minyak pada tahun 2014-2016 yang juga berdampak pada negara-negara Timur Tengah, serta pemulangan pekerja yang sempat terjadi pada tahun tersebut.
Filipina memiliki banyak kelebihan yang dapat mendukung pertumbuhan industri kreatif dalam negeri. Pertama, Filipina memiliki pasar konsumen yang besar dan demografi pembeli yang beragam. Umur median Filipina merupakan yang terendah dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya.
Otoritas Statistik Filipina juga memperkirakan bahwa jumlah populasi negara tersebut akan berkembang dari 92 juta jiwa pada tahun 2010 menjadi 142 juta pada tahun 2045. Hal ini merupakan lahan subur bagi para pemuda pecinta budaya untuk mengembangkan bisnis musik, film, fesyen, seni, dan konten online.
Kreativitas masyarakat Filipina dan jenis musik yang beragam akan menarik hati para turis mancanegara. Namun, tantangan sebenarnya adalah bagaimana pemerintah dapat mengembangkan industri kreatif ini agar mampu membawa manfaat terhadap perekonomian dalam negeri.
Permintaan konsumen terhadap konten budaya lokal juga semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan semakin larisnya film Filipina di box office pada tahun 2018. Pada tahun 2014, industri kreatif Filipina berkontribusi sebesar 7,34% PDB nasional dan 14,14% dalam hal lapangan pekerjaan.
Budaya Filipina juga memiliki daya tarik lintas negara yang cocok untuk pasar internasional sebab budaya Filipina merupakan perpaduan unik dari budaya Hispanik, Amerika, dan Asia.
Selain konten musik dan audio-visual, Filipina juga dapat memanfaatkan kumpulan talenta digital yang ada dalam sektor BPO untuk lebih mengembangkan outsourcing dalam industri kreatif dan menarik sumber daya untuk pekerjaan yang bernilai lebih tinggi seperti desain grafis, pemasaran online, pengembangan web, dan industri pengembangan video game yang memiliki prospek menggiurkan.
Namun, agar benar-benar mampu merealisasikan potensinya sebagai pusat industri kreatif di dunia, Filipina perlu menyusun sebuah masterplan yang lebih kohesif untuk membangun ekosistem yang layak dan memastikan bahwa masyarakat Filipina memiliki akses ke layanan pembiayaan ataupun peralatan yang diperlukan untuk mengembangkan bakat mereka serta sarana untuk mengakses pasar lokal dan internasional.
Dalam sebuah wawancara bersama OBG bulan ini, Paolo Mercado selaku Presiden Dewan Ekonomi Kreatif Filipina mengatakan bahwa pemerintah Filipina perlu memiliki framework yang lebih ketat untuk melindungi hak cipta atas karya-karya buatan masyarakat Filipina dan memastikan bahwa pencapaian mereka dapat dihargai secara memadai.
Potensi Perkembangan Ekonomi Kreatif di Indonesia
Indonesia merupakan contoh negara ASEAN lainnya yang perlu menciptakan mesin penggerak ekonomi baru. Apalagi, Indonesia dan Filipina memiliki banyak kesamaan karena keduanya merupakan negara kepulauan yang luas dan tingkat kependudukan yang padat serta perekonomiannya yang sangat bergantung pada konsumsi swasta.
Seiring dengan berbagai kebijakan yang diterbitkan pemerintah untuk mengatasi current account defisit dan upaya menstabilkan nilai rupiah, pemerintahan Presiden Jokowi melihat adanya potensi dalam industri kreatif yang dapat meningkatkan konsumsi domestik dan meningkatkan pendapatan devisa negara. Pada tahun 2015 pemerintahan Jokowi mendirikan Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), yang ditugaskan untuk mengayomi perkembangan industri film, fesyen, musik, kerajinan tangan, dan usaha kreatif lainnya untuk mengakhiri ketergantungan yang berlebihan terhadap komoditas.
Oxford Business Group baru saja mewawancara Kepala BEKRAF Triawan Munaf, dan hasil wawancara ini akan diterbitkan dalam The Report: Indonesia 2019 yang akan dipublikasikan mendatang. Dalam wawancara tersebut, Triawan mengatakan bahwa industri kreatif telah berkontribusi sebesar 7,4% terhadap PDB Indonesia pada 2017 dan ditargetkan meningkat hingga 9% pada tahun 2020.
Dalam daftar investasi negatif asing Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2016, produksi film, distribusi dan penyaringan dibuka 100% untuk investasi asing untuk pertama kalinya. Hal ini menyebabkan lonjakan jumlah bioskop dan penjualan tiket bioskop di Indonesia.
Selain jumlah populasi dalam negeri hingga 250 juta jiwa, Indonesia juga memiliki pasar konsumen yang besar di luar negeri. Hal ini dikarenakan Bahasa Indonesia yang dekat dengan Bahasa Melayu sehingga dapat dipahami oleh beberapa konsumen asal Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura.
Potensi ekonomi kreatif Indonesia akan semakin terlihat bulan depan pada saat pembahasana yang dilakukan dalam acara World Conference on Creative Economy di Bali. Acara ini diharapkan dapat menarik lebih dari 1000 delegasi lokal dan internasional. Salah satu tantangan yang dapat menyulitkan perkembangan industri kreatif di Indonesia adalah peningkatan politik sektarian dan kemunculan ajaran-ajaran agama yang konservatif.
Akan menarik sekali melihat bagaimana Indonesia memanfaatkan potensi ekonomi dari pemuda pecinta budaya yang dinamis dan kreatif tanpa memicu pertentangan dari kaum reaksioner.