Bisnis.com, JAKARTA--Eskalasi perang dagang antara AS dan China kembali merusak aktivitas manufaktur dan permintaan ekspor di sejumlah negara di Asia. Analis pun memperkirakan pukulan untuk sektor manufaktur masih akan datang dalam beberapa bulan ke depan.
Dalam kondisi ekspansi manufaktur dan ekspor yang memburuk, Indeks Pembelian Manajer (Purchasing Managers' Index/PMI) di China menunjukkan pertumbuhan tipis ke level 50,1 pada Oktober dari 50,5 pada bulan sebelumnya.
Adapun aktivitas manufaktur di Indonesia dan Korea Selatan melemah karena berkurangnya permintaan dan bahkan aktivitas manufaktur di Malaysia dan Taiwan terkontraksi.
Data tersebut pun mengikuti pelemahan data produksi industri sebelumnya untuk Jepang dan Korsel. Adapun hasil industri Korsel telah tergerus dalam dalam 1,5 tahun terakhir.
Di sisi lain, survei PMI AS yang akan dirilis kemudian diperkirakan tumbuh lebih cepat daripada Asia. Hal itu pun bakal semakin mendukung pengetatan kebijakan moneter Federal Rwserve dengan menaikkan suku bunga acuan.
Selanjutnya, prospek kenaikan suku bunga AS juga dapat menambah tekanan terhadap pasar keuangan di negara-negara yang perekonomiannya rentan denga gejolak eksternal, seperti Indonesia, India, dan Filipina. Adapun negara-negara tersebut terpaksa harus menyesuaikan suku bunga untuk menghadapi aksi jual mata uang, saham, dan obligasi.
"Kita memiliki kondisi pengetatan moneter di seluruh dunia, perlambatan permintaan China, dan gejolak pasar keuangan yang memengaruhi sentimen dan keputusan berinvestasi," kata Aidan Yao, Senior Asia EM Economist di AXA Investment Managers, seperti dikutip Reuters, Kamis (1/11/2018).
Yao menyampaikan, sebenarnya banyak permintaan dari luar negeri yang masih menunggu, sebagai antisipasi diberlakukannya tarif-tarif dari AS. Namun sejauh ini, dampaknya masih tidak langsung terhadap keyakinan berbisnis.
"Kejutan ekonomi sesungguhnya belum tiba," imbuhnya.