Bisnis.com, JAKARTA -- Target pertumbuhan pajak non migas yang dipatok sebesar 16,6% dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 diklaim mencerminkan sikap kehati-hatian pemerintah dalam mengantisipasi risiko perekonomian pada tahun depan.
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yon Arsal menyebut tren pertumbuhan penerimaan pajak sampai Agustus 2018 tercatat berada di angka 16,37%. Artinya, jika pertumbuhan penerimaan pajak sampai akhir tahun bisa terjaga di kisaran 16%, maka target dalam APBN 2019 yang juga di kisaran 16% bisa dibilang cukup konservatif.
Dengan target 2019 yang diproyeksi tak terpaut jauh dengan realisasi tahun ini, pemerintah sangat yakin bahwa pertumbuhan 16,6% bisa tercapai.
Apalagi, bila dibandingkan dengan tahun ini, posisi 2019 lebih menguntungkan. Pasalnya, shortfall penerimaan pajak pada 2017 menyebabkan target pertumbuhan penerimaan pajak pada tahun ini membengkak menjadi 23%.
"Kalau dilihat pertumbuhan kemarin 23%, maka tahun depan target ini cukup masuk akal, mencerminkan kondisi ekonomi lah," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (19/9/2018).
Dalam rapat Panitia Kerja (Panja) di Badan Anggaran (Banggar) DPR, pemerintah dan DPR telah menyepakati pertumbuhan ekonomi bisa berada di angka 5,3%. Target pertumbuhan ekonomi tersebut dianggap cukup moderat meski agak konservatif dan masih bisa direalisasikan di tengah volatilitas ekonomi global dan sejumlah tantangan perekonomian di sektor domestik.
Adapun dalam RAPBN 2019, sebelum perubahan asumsi kurs dan lifting minyak, target penerimaan pajak non migas dipatok sebesar Rp1.510,1 triliun atau tumbuh sekitar 16,6% dari outlook APBN 2018 yang senilai Rp1.295,5 triliun. Namun, setelah perubahan kurs dari Rp14.400 menjadi Rp14.500, target penerimaan pajak non migas bertambah Rp1 triliun menjadi Rp1.511,4 triliun.