Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah secara umum dinilai sudah menyusun RAPBN 2019 secara lebih realistis dan berhati-hati. Namun, belanja infrastruktur dinilai perlu dikaji ulang di tengah tantangan utang dan defisit.
Guru Besar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai asumsi makro yang digunakan sudah sesuai dengan ekspektasinya.
"Pertumbuhan ekonomi 5,3%, kalaupun meleset nanti 5,2%, Inflasi 3,5%, kurs Rp14.400/US$ meski kini Rp14.600/US$, namun ke depannya pemerintah harus optimis. Sementara harga minyak US$70 per barrel dan lifting minyak 750.000 barrel, padahal biasanya selalu 800.000," jelasnya kepada Bisnis, Jumat (17/8/2018).
Menurutnya, pemerintah sudah belajar banyak dalam menyusun RAPBN, saat ini jauh lebih realistis dan workable dibandingkan dengan masa awal Jokowi menjadi Presiden yang terasa menggebu-gebu, sehingga menjadi angan-angan.
Tony pun menyoroti belanja infrastruktur yang naik dari Rp410 triliun menjadi Rp420 triliun. "Ini perlu dikaji lagi, karena kita berusaha menekan belanja-belanja pemerintah dalam valas, termasuk dari belanja infrastruktur," jelasnya.
Menurutnya, pemerintah perlu menginjak pedal rem dalam belanja infrastruktur, mengingat kondisi neraca perdagangan yang per Juli 2018 ini defisit US$3,09 miliar dan transaksi berjalan yang sudah mencapai 2,7% dari PDB.
"Kita perlu injak pedal rem di infrastruktur. Cooling down sedikit, tidak boleh overheating," selorohnya.
Selain itu dia menyoroti target penerimaan pajak yang masih akan menghadapi tantangan ke depan. Kenaikan target sekitar 15%-16% menurutnya, meski cukup konservatif daripada biasanya, tetap tidak mudah direalisasikan karena belanja masih lesu.
Sementara, defisit APBN yang ditekan menjadi hanya 1,84% dinilai baik. "Ini bagus, mengingat pembayaran utang pemerintah tahun 2019 bakal mencapai Rp 400 triliun lebih," paparnya.