Bisnis.com, JAKARTA – Meski berperan strategis, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) justru kurang dikenal masyarakat. Ke depan, BPKN berharap bisa mendapatkan kewenangan yang lebih memadai untuk menjalankan perannya dalam melindungi hak-hak konsumen. Untuk pencapaian dan rencana kerja BPKN, Bisnis berkesempatan mewawancarai Kepala BPKN Ardiansyah Parman. Berikut pertikannya:
BPKN masih kurang dikenal dibandingkan dengan YLKI. Bagaimana respons Anda?
BPKN memang kalah terkenal dibandingkan dengan YLKI . Tadinya BPKN memang silent operation karena kami memosisikan diri sebagai penasihat. Selama 3 periode, BPKN mencoba untuk silent operation.
Setelah dievaluasi, teman-teman pada periode keempat menilai kurang gereget. Terus terang saja, pemerintah kalau dikirimi surat rekomendasi seringkali tidak dijawab. Jangan-jangan surat rekomendasi kami juga tidak dibaca.
Padahal, berdasarkan latar belakang pembentukannya, BPKN berfungsi memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen.
Akhirnya, kami mengundang kementerian dan lembaga untuk mengevaluasi tindak lanjut dari rekomendasi yang kami berikan. Berangkat dari situ, mulai ada perhatian pada rekomendasi BPKN. Ternyata, strategi itu masih kurang kuat juga. Akhirnya, kami mulai aktif sosialisasi melalui media.
Hingga pertengahan tahun ini, berapa jumlah pengaduan yang masuk ke BPKN?
Jumlah pengaduan yang masuk sampai pertengahan tahun ini naik tajam sekali. Pada 2015 hanya ada 28 pengaduan; 2016 ada 46 pengaduan; 2017 ada 106 pengaduan, tetapi pada 2018 sampai Juni saja sudah mencapai 241 pengaduan.
Dari total 241 pengaduan yang masuk, mayoritas berasal dari sektor properti yaitu mencapai 207 pengaduan.
Apa permasalahan utama yang diadukan konsumen berkaitan dengan sektor itu?
Kalau kami telaah lagi dari pengaduan yang masuk, ternyata ada beberapa persoalan yang menjadi keluhan konsumen yaitu mengenai cicilan bertahap melalui pengembang dan melalui KPR .
Masalah pokoknya adalah hak berupa sertifikat tidak diberikan atau tidak jelas. Persoalan lainnya ialah masalah pembatalan unit, dan status kepemilikan yang tidak jelas. Itulah tiga persoalan utama di sektor properti yang masuk ke BPKN.
Kami juga mengimbau konsumen untuk lebih cerdas sebelum membeli rumah secara KPR. Konsumen harus melihat langsung ke lokasi untuk memastikan bahwa memang benar-benar akan ada pembangunan rumah di lokasi tersebut.
Apa saja faktor yang menyebabkan jumlah pengaduan naik signifikan?
Kami melihat faktornya disebabkan BPKN yang lebih proaktif atau agresif melakukan sosialisasi ke masyarakat, hingga akhirnya konsumen berani mengadukan permasalahan yang mereka hadapi. Kami juga optimalkan saluran pengaduan yang kami siapkan untuk konsumen.
Selain itu, pembangunan properti, terutama rumah susun dan rumah tapak melalui KPR dan sebagainya, dimulai sekitar 2000-an, dan baru sekarang mengalami masalah karena sertifikatnya tidak keluar-keluar, sehingga baru sekarang pengaduannya mulai banyak masuk.
Bagaimana tindak lanjutnya terhadap pengaduan-pengaduan tersebut?
Untuk pengaduan di sektor properti, kami menggelar pertemuan dengan pihak-pihak terkait, termasuk perbankan yang terlibat untuk membahas persoalan tersebut.
Alhamdulillah, sekarang sudah mulai diproses sertifikatnya. Perlu diketahui bahwa kami ini bukan menyelesaikan sengketa, yang menyelesaikan sengketa adalah BPSK .
Permasalahan yang diselesaikan di BPKN ialah kenapa secara struktural sebuah perkara bisa muncul? Itu harus diperbaiki, apakah regulasinya harus diubah, atau implementasinya yang harus diubah.
Misalnya, kami punya saran mengenai masalah perjalanan umrah. Kami sudah kasih ke Kementerian Agama mengenai potensi-potensi permasalahannya.
Setelah kasusnya ramai, barulah kami diajak menyusun Peraturan Menteri Agama, dan hampir 90% saran kami akhirnya diakomodir dalam peraturan tersebut. Sama halnya dengan masalah obat, dan masalah vaksin. Kami juga sudah menyampaikan rekomendasi ke instansi terkait.
Apakah sekarang masih banyak K/Lyang mengabaikan rekomendasi BPKN?
Sekarang sudah mulai ada perubahan, kementerian/lembaga sudah mengirim surat atau respons tertulis terkait dengan langkah-langkah yang akan dilakukan berdasarkan rekomendasi yang kami ajukan. BPKN sekarang bahkan seringkali dilibatkan dalam perumusan kebijakan atau regulasi oleh pemerintah.
Selain menunggu pengaduan, apakah dimungkinkan bagi BPKN lebih proaktif?
Rekomendasi yang disusun oleh BPKN salah satunya memang bersumber dari pengaduan. Namun, yang sebelumnya justru lebih banyak didasarkan pada prediksi atau kasus yang tidak dilaporkan tetapi menjadi perhatian BPKN. Jadi rekomendasi kami bukan hanya berdasarkan pengaduan, melainkan juga berdasarkan inisiatif dan penelitian.
Apa saja hal yang menjadi tantangan bagi BPKN?
Pada era ekonomi digital, tatanan kehidupan kita banyak mulai mengalami perubahan, dan menciptakan persoalan-persoalan baru. Jangan sampai kita tidak siap menghadapi persoalan tersebut, karena pengelolaan pengaturan sudah tidak relevan lagi menggunakan aturan lama.
Contoh, ketika pemerintah mengatur Go-Jek dengan aturan lama itu tidak cocok, karena dunianya sudah berubah, tetapi disentuh oleh aturan lama. Kami mendorong pemerintah untuk meninjau kembali berbagai peraturan untuk menyesuaikan era ekonomi digital seperti saat ini.
Apa relevansinya bagi BPKN?
Dikaitkan dengan peran BPKN, tugasnya adalah memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen. Disebutkan juga tugasnya, ialah melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan.
Itulah sebabnya kami menyoroti tentang kebijakan dan regulasi. Kami sudah mendapat beberapa pengaduan tentang layanan digital, baik dari transportasi online, pembelian tiket pesawat dan hotel secara online, dan beberapa kasus lainnya. Kami lihat kasus-kasus berkaitan dengan isu ekonomi digital ini akan semakin banyak lagi.
Seperti apa rekomendasi BPKN dalam penyusunan kebijakan ekonomi digital?
Kami menyurat ke angket melalui PTRI Jenewa untuk meminta bantuan teknis melihat apakah regulasi kita ini sudah sesuai dengan UN Guidelines tentang perlindungan konsumen.
Kemudian, kami meminta masukan bagaimana mengatur ekonomi digital ini, karena di PBB sendiri isu ini masih terus dibahas.
BPKN mengusulkan revisi UU Perlindungan Konsumen, bagaimana perkembangannya?
Pada 2011 BPKN pernah mengirimkan surat ke presiden mengusulkan perubahan dengan menyampaikan naskah akademis, dan rancangan undang-undangnya.
Namun, oleh kantor presiden dikembalikan dengan catatan agar dikoordinasikan dengan Kementerian Perdagangan yang akan memproses mengenai masalah penyiapan undang-undangnya. Ternyata, kalau berbentuk badan itu tidak bisa menyampaikan inisiatif revisi undang-undang, tetapi harus disampaikan kementerian.
Apa saja hal yang menjadi masukan BPKN dalam RUU tersebut?
Harapan masyarakat terhadap peran BPKN melebihi dari kewenangan yang ada, sehingga BPKN selama ini dianggap tidak punya peranan yang strategis. Masukannya tidak hanya berkaitan dengan kewenangan BPKN, tetapi juga kami melihat pendekatan sektoral sudah tidak relevan lagi pada era digital ekonomi seperti saat ini.
Ini karena situasinya sudah berubah. Oleh karena itu, pemerintah harus meninjau kembali regulasi-regulasi yang tidak bisa menjawab perkembangan dari era ekonomi digital.
Penguatan kewenangan seperti apa yang diharapkan BPKN?
Sebenarnya bukan yang diharapkan oleh BPKN, melainkan masyarakat ingin ada lembaga yang bisa cepat melakukan penanganan untuk memulihkan hak konsumen. Salah satu pilihannya adalah memberikan peranan yang cukup memadai terhadap BPKN.
Contoh, sekarang ini hanya memberikan saran atau pertimbangan ke pemerintah. Yang namanya memberikan saran atau pertimbangan itu pemerintah boleh dengar, boleh juga tidak.
Nah, yang kami inginkan bisa tidak BPKN mengambil langkah-langkah konkret untuk menindak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha yang berakibat merugikan konsumen.
Apa saja pencapaian BPKN sejauh ini?
Selama empat periode sudah ada 152 rekomendasi yang dibuat. Pengakuan dari kementerian/lembaga mengatakan sekitar 80% rekomendasi sudah ditindaklanjuti.
Hal itu mereka sampaikan dalam rapat koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Sekarang juga sudah mulai ada jawaban-jawaban tertulis yang mereka sampaikan sebagai respons atas rekomendasi yang disampaikan BPKN.
Apa sasaran utama yang ingin dicapai selama beberapa tahun ke depan?
Salah satunya ialah indeks pemberdayaan konsumen. Sekarang indeks pemberdayaan konsumen baru menyentuh level 30,8%, capaian itu masih rendah. Kami akan terus dorong peningkatan indeks pemberdayaan konsumen hingga beberapa tahun ke depan. Kami juga ingin mendorong BPSK setidaknya bisa hadir di 34 provinsi.
Adakah terobosan baru yang dilakukan untuk mendorong indeks itu naik?
Untuk memudahkan konsumen dalam menyampaikan pengaduan, kami tidak hanya membuka layanan pengaduan melalui sambungan telepon, tetapi kita juga membuka layanan pengaduan melalui situs resmi BPKN. Dengan adanya layanan tersebut, proses pengaduan bisa lebih cepat dan mudah.
Seperti apa kesiapan BPKN dalam menghadapi potensi peningkatan pengaduan?
Kami sedang melakukan restrukturisasi organisasi untuk menghadapi perkembangan ini untuk menangani pengaduan yang terus meningkat. Oleh sebab itu, organisasi kami sesuaikan agar lebih siap menangani pengaduan dari masyarakat yang trennya meningkat terus, misalnya di bagian advokasi semakin diperkuat.
Kami punya SOP , dalam kurun 7 hari pengadu harus mendapatkan respons dari kami.
Pewawancara: Tim Bisnis Indonesia.
BIODATA
Nama: Ardiansyah Parman
Tempat/Tanggal Lahir: Banjarmasin, 24 Desember 1952
Riwayat Pendidikan:
Sarjana Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung
Riwayat Karier:
- Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional/BPKN (2013—Sekarang)
- Tenaga Ahli Bidang Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (2013—2015)
- Anggota Dewan Pengawas Perum Bulog & Ketua Komite Audit Dewan Pengawas Perum Bulog (2007—2014)
- Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan (2008—2012)
- Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (2005—2008)
- Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi/Bappebti (2002—2005)
- Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (2002)
- Sekretaris Direktorat Jenderal Industri, Logam, Mesin, dan Elektronika Kementerian Perindustrian (2000—2002)
- Direktur Industri Elektronika, Direktorat Jenderal Industri, Logam, Mesin, Elektronika, dan Aneka Kementerian Perindustrian (1996—2000)
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (9/9/2018)