Bisnis.com, JAKARTA - Sejak 1 Januari 2018, majalah Rolling Stone Indonesia (RSI) menyatakan bubar dan tidak lagi beredar baik dalam cetak maupaun online dengan laman http://www.rollingstone.co.id.
Mantan wartawan musik yang kini menjadi aktor dan komedian Soleh Solihun menilai tutupnya majalah itu memberi kesempatan bagi portal musik online untuk lebih ekspansif agar lebih dikenal publik.
"Ini bisa menjadi momentum untuk media baru muncul. Jika sebelumnya tidak terdengar karena orang selalu merujuk pada majalah Rolling Stone, sekarang peluang mereka lebih terbuka untuk didengar," paparnya.
Sebelumnya, banyak orang yang menjadikan RSI sebagai sumber referensi dan review musik paling terpercaya. Banyak media musik lain yang tidak terdengar suaranya karena tertutup sinar kebintangan media ini.
Saran darinya, janganlah membuat berita atau ulasan musik yang terlalu cari perhatian. "Kadang penulis baru itu seperti itu, saya juga dulu pernah seperti itu, membuat ulasannya ingin nyeleneh biar cari perhatian, padahal tidak perlu."
Soleh sendiri pernah menjadi punggawa majalah Rolling Stone Indonesia pada 2008-2012, namun dia memilih meninggalkan majalah musik itu 5 tahun lalu.
Dia tak terkejut sama sekali dengan tutupnya media tersebut. Persoalan konvergensi media cetak ke digital yang tidak optimal menjadi salah satu penyebabnya.
Menurutnya, media baru yang akan muncul seharusnya bisa berkaca dari persoalan ini dan membuat inovasi yang baik untuk jurnalisme di media daring, baik untuk media musik ataupun media massa secara umum.
Sayangnya, tak melulu inovasi positif yang hadir dari perubahan medium jurnalisme saat ini. Sebagaimana diceritakan Soleh dan Idhar Resmadi dalam artikel sebelumnya, jurnalisme di media daring malah menjadi jurnalisme ala kadarnya dan kurang bermutu.
Pada wawancara Bisnis dengan pendiri Pusat Studi dan Pemantauan Media Remotivi Roy Thaniago beberapa waktu lalu, dia juga mengatakan bahwa inovasi yang buruk ini sebagai penyebab berubahnya mutu jurnalisme di media daring.
Jurnalisme berubah jadi murahan: hanya berorientasi kuantitas artikel dan jumlah klik serta share semata.
Meski begitu, menurut Roy, tak berarti tidak ada media daring yang mampu menyajikan inovasi yang tetap mengangkat mutu jurnalisme.
Strategi Baru
Pengajar Kajian Media dan Budaya dari Universitas Padjadjaran Justito Adiprasetio mengatakan memang sudah saatnya, bagi media cetak untuk serius menggarap media daring mereka, melahirkan inovasi konten yang tidak mereduksi mutu jurnalisme. Menurutnya, berakhirnya era media cetak tak bisa dihindari.
“Kalau pun nanti masih ada yang bertahan dalam format cetak, pembacanya akan semakin terbatas, hanya untuk mereka yang junkie papers saja,” katanya.
Justito menerangkan bahwa iklan di media cetak juga saat ini jauh lebih kecil ketimbang iklan di media lain, terutama televisi. Berdasarkan data Nielsen, jumlah belanja iklan di majalah dan tabloid pada Januari-Juli 2017 di Indonesia hanya sebesar Rp686,6 miliar.
“Sementara untuk total belanja iklan keseluruhan di televisi dan media cetak adalah Rp82,1 triliun. Artinya, belanja iklan di media cetak tidak sampai 1% dari total keseluruhan jumlah belanja iklan saat ini,” katanya.
Informasi belanja iklan Nielsen ini merupakan data dari Advertising Information Services yang memonitor aktivitas periklanan Indonesia. Monitoring iklan mencakup 15 stasiun TV nasional, 99 surat kabar dan 120 majalah dan tabloid di Indonesia.
Peralihan ke media daring secara serius dan tanpa mereduksi kualitas jurnalisme sudah harus menjadi strategi bagi pengelola media cetak untuk tetap bertahan. Justito mencontohkan kesuksesan New York Times di Amerika serikat sebagai model perencanaan media yang bisa ditiru.
Dia mengatakan pada kuartal ketiga 2017, media tersebut berhasil mencatatkan sejarah di mana untuk pertama kalinya, pendapan mereka dari media digitalnya telah melampaui media cetaknya. Pendapatan mereka dari media digital mencapai US$86 juta, sementara media cetak hanya menghasilkan US$64 juta.
Hal yang perlu dicermati di sini adalah bagaimana New York Times tidak mengurangi kualitas jurnalisme mereka sama sekali. Baik artikel di media cetak maupun media daringnya sama-sama bermutu.
Dalam pernyataan resminya, Chief Executive New York Times Mark Thompson mengatakan bahwa hal ini bisa terjadi karena kinerja luar biasa dari awak media mereka.
Dia memuji wartawan mereka yang tetap bisa menjangkau berita nasional maupun internasional selagi tetap prima dalam mengerjakan jurnalisme investigasi.
Meski begitu, iklim jurnaslime dan media yang sehat tak bisa dilepaskan dari kondisi perekonomian negara itu sendiri. Kemampuan belanja iklan di media massa tak lepas dari pertumbuhan ekonomi baik global maupun nasional di masa mendatang.
Pada akhirnya, nasib media massa dan jurnalisme adalah tantangan yang dihadapi secara kolektif, tidak hanya menjadi tanggung jawab para pengelola media semata tetapi juga tantangan bersama masyarakat dan negara.