Bisnis.com, JAKARTA—Kepala daerah dan kepada badan pengelola transportasi daerah diminta memperhatikan kebijakan yang berlaku dalam aturan angkutan sewa khusus (taksi daring) yang mulai efektif 1 Juli 2017.
Sebelumnya, Peraturan Menteri Nomor 26/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, diterbitkan pada 1 April 2017 dengan masa transisi secara bertahap, hingga akhirnya diberlakukan secara resmi pada 1 Juli 2017.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Pudji Hartanto meminta Kepala Badan pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) dan kepada daerah provinsi atau Gubernur untuk memperhatikan poin-poin yang berlaku pada beleid tersebut.
Ketentuan yang dimaksud terkait tentang rencana kebutuhan kendaraan atau kuota untuk angkutan sewa khusus yang ditetapkan oleh Gubernur atau Kepala Badan sesuai kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 22.
“Sebelum ditetapkan terlebih dahulu berkonsultasi kepada Direktur Jenderal Perhubungan Darat untuk mendapat rekomendasi," ujar Pudji seperti dikutip dari keterangan tertulis yang diterima Bisnis, Sabtu(1/7/2017).
Ketentuan lain, sambungnya, terkait penentuan tarif batas atas dan batas bawah atas dasar usulan dari Kepala Badan/Gubernur yang kemudian ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri setelah dilakukan analisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf f.
"Sudah ditentukan Peraturan Dirjen tentang tarif batas atas dan batas bawah angkutan sewa khusus dan dimana pemberlakuan tarif dibagi menjadi 2 (dua) wilayah yaitu Wilayah I untuk Sumatra, Jawa dan Bali, serta Wilayah II untuk Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua," paparnya.
Disebutkan, tarif batas bawah untuk wilayah I sebesar Rp3.500 dan batas atas sebesar Rp6.000. Sedangkan untuk wilayah II tarif batas bawahnya sebesar Rp3.700 dan batas atasnya sebesar Rp6.500.
Terkait Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) atas nama badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3), Pudji menjelaskan, untuk badan hukum berbentuk Koperasi, dimana bagi anggota Koperasi yang memiliki STNK atas nama perorangan masih dapat menggunakan kendaraannya sampai dengan berakhirnya masa berlaku STNK atau melakukan balik nama. Hal itu dilakukan dengan melampirkan Perjanjian Kerjasama (PKS) antara anggota Koperasi dengan pengurus Koperasi.
Pada kesempatan yang sama, Pudji menekankan jika terjadi suatu pelanggaran terhadap pelaksanaan PM. 26/2017 akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan atas pelaksanaannya ada evaluasi dalam kurun waktu enam bulan.