Bisnis.com, JENEWA -- Menghadapi Hari Anti Tembakau yang jatuh pada 31 Mei 2017, gemuruh kampanye makin terdengar riuh. Pada tahun ini, WHO memfokuskan studi yang menunjukkan besarnya dampak sigaret mengancam pembangunan suatu negara.
Hal ini diperkuat dengan masih tingginya kegiatan pemasaran dan periklanan rokok, mempromosikan bungkus rokok polos, menaikkan pajak, dan meningkatkan jumlah area bebas rokok di tempat umum.
Pada tahun sebelumnya, WHO telah meluncurkan studi tentang penerapan bungkus rokok polos pada beberapa negara. Australia tercatat menjadi negara pertama yang mengimplementasikan hal tersebut. Setelah itu negara lainnya seperti Perancis, Irlandia, dan Inggris telah menginisiasi implementasi bungkus polos tersebut. Namun, itu saja ternyata tidak cukup karena rokok telah neracuni hampir seluruh elemen pembangunan bangsa.
Menurut catatan WHO, rokok telah membunuh sebanyak 7 juta orang dan telah membebani negara di dunia hingga US$1,4 triliun jika dilihat dari pengeluaran kesehatan dan kehilangan produktivitas.
Direktur Jenderal WHO Margaret Chan mengatakansesuai dengan agenda pembangunan berkelanutan 2030 atau 2030 Agenda for Sustainable Development, elemen kunci terletak pada implementasi WHO Framework Convention on Tobacco Control dan penekanan sepertiga angka kematian pada penyakit tidak menular, termasuk jantung, paru-paru, kanker, diabetes, di mana rokok dapat meningkatkan risiko penyakit semakin parah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan WHO di berbagai negara, terdapat bebrapa elemen yang terkena dampak. Pertama, lingkungan. tembakau mengeluarkan lebih dari 7.000 racun yang dapat meracuni lingkungan, termasuk pemicu munculnya zat karsinogenik dan efek rumah kaca.
Kondisi tersebut masih diperparah dengan limbah putung rokok yang mencapai 30%–40% dari total sampah yang terkumpul di kawasan perkotaan.
Margaret mengatakan dampak paling parah terjadi pada elemen kehidupan manusia itu sendiri sehingga produktivitas suatu negara kian merosot. Selain itu, wanita dan anak-anaok sebagai penerus juga menjadi korban di balik kejayaan perusahaan penjual rokok.
Hal ini terbukti dari sebanyak 860 juta orang dewasa perokok hidup di negara berpenghasilan rendah. Mereka bahkan menghabiskan 10% dari total pengeluaran rumah tangganya.
“Pekerjaaan di perkebunan tembakau telah menghentikan 10%-14% anak-anak dari kesempatan bersekolah. Sebanyak 60%–70% wanita bekerja di kebun tembakau harus terpapar zat kimia berbahaya,” ujarnya seperti dikutip dari siaran pers.
Dari segi kesehatan, lanjutnya, tembakau telah berkontribusi pada 16% kasus penyakit tidak menular di dunia. “Tembakau menjadi penghalang paling berpengaruh pada pembangunan global. Kematian yang disebabkan tembakau telah mendorong kemiskinan, hilangnya pencari nafakah bagi keluarga, memakan biaya yang harusnya dikeluarkan untuk makanan dan pendidikan, serta memaksa orang mengeluarkan biaya kesehatan,” kata Direktur WHO Departemen Pencegahan Penyakit Tidak Menular Douglas Bettcher.
Namun, himbauan WHO untuk meningkatkan nilai pajak rokok suatu negara nampaknya bakal direspon negatif oleh Indonesia. Hal itu ditunjukkan oleh studi yang dilakukan oleh Center of Health Economics and Policy Studies of Public Health Universitas Indonesia bahwa pada tahun 2015 peningkatan 25%-100% harga rokok justru meningkatkan angka kemiskinan, namun pada level 113%, angka kemiskinan mulai menurun.
Namun, dalam studi yang sama dikatakan bahwa intervensi biaya dari peningkatan cukai rokok lebih baik daripada metode seperti pelarangan iklan rokok.
Hal ini berarti penurunan angka konsumsi rokok hanya bisa dicapai dengan pendekatan yang holistik. Semua metode harus diimplementasikan secara bersamaan agar bisa mencapai agenda WHO.