Bisnis.com, TOKYO -- Persoalan penerimaan negara berupa pajak dan retribusi daerah menjadi faktor terbesar yang harus segera diselesaikan dalam perundingan pemerintah dengan PT Freeport Indonesia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengatakan, proses perundingan masih terus berlanjut dengan beberapa hal yang telah disetujui kedua pihak.
Dia menyebut, di posisi terakhir perundingan, status kontrak karya disepakati berubah menjadi izin usaha pertambangan khusus dan perpanjangan status 2 kali 10 tahun akan disetujui jika Freeport membangun smelter dalam 5 tahun yang akan direview tiap 6 bulan dan dikenai bea keluar.
Namun, ujarnya, persoalan terbesar masih di perpajakan dan retribusi daerah. Hal itu akan diatasi dengan skema peraturan pemerintah terbaru khusus untuk Freeport.
"Bolanya sudah di Kementerian Keuangan," katanya di sela-sela temu masyarakat Indonesia di Sekolah Republik Indonesia Tokyo, Minggu (14/5/2017).
Jonan menambahkan, Freeport sebenarnya mau menerima usulan pengenaan pajak penghasilan 35% sepanjang status usahanya ada kepastian.
Sejauh ini pemerintah telah membentuk empat tim terkait dengan proses perundingan dengan PT Freeport Indonesia yang telah memasuki tahap kedua.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, masing-masing tim tersebut akan membahas satu poin perundingan. Pembahasan yang akan dilakukan menyangkut penerimaan negara, divestasi, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), dan kepastian operasi.
Kendati proses perundingan dengan Freeport Indonesia dijadwalkan berlangsung setiap pekan hingga batas waktu di Oktober 2017, sejauh ini tim tersebut masih melakukan pembahasan secara internal. Bambang belum bisa memastikan kapan tim tersebut akan bertemu dengan pihak PTFI.
Dia menambahkan, Freeport pun belum menyampaikan secara detail apa yang diminta dalam perundingan tahap kedua itu. Namun, beberapa kali pihak Freeport menyatakan perlu kepastian perpanjangan operasi hingga 2041.
Terkait dengan perpanjangan operasi, Bambang menyatakan bahwa keputusan tersebut belum tentu diambil sebelum batas waktu perundingan. Menurutnya, hal tersebut akan sangat tergantung pada hasil pembahasan dan kesepakatan.
"Yang pasti 5 tahun sebelum kontraknya habis dia boleh mengajukan perpanjangan," tuturnya baru-baru ini.
Sementara itu, Vice President Corporate Communication PT Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan, dalam perundingan dengan pemerintah, pihaknya telah menyatakan berkomitmen membangun smelter. Namun, hal tersebut bisa direalisasikan setelah ada kepastian perpanjangan operasi hingga 2041.
Riza mengatakan, pembangunan smelter tersebut akan ditempatkan di Gresik Jawa Timur. Namun, dia belum mengungkapkan, berapa total investasi yang akan dikeluarkan perusahaan asal Amerika Serikat itu.
"Untuk pengajuan proposal [permohonan perpanjangan operasi] dalam waktu dekat tentunya karena itu bagian dari diskusi yang 6 bulan ke depan itu," katanya, Kamis (11/5/2017).
Adapun, perundingan ini dipicu oleh munculnya PP No.1/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang menyatakan bahwa hanya pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang boleh mengekspor mineral olahan. Alhasil, PTFI yang selama ini mengekspor konsentrat tembaga harus rela mengubah statusnya dari kontrak karya (KK) menjadi IUPK.
Masalah ini sempat membuat CEO Freeport-McMoRan Inc., induk usaha PTFI, Richard C. Adkerson mengancam membawa sengketa ke arbitrase. Namun, setelah PTFI bersedia membuka perundingan dengan pemerintah, niat tersebut berangsur-angsur diurungkan.
Dia mengatakan, pihaknya akan terus mencari upaya untuk mendapatkan solusi yang saling menguntungkan.