Bisnis.com, JAKARTA -- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) berpendapat revisi UU Perikanan harus memberikan porsi yang besar terhadap kegiatan pascaproduksi untuk meningkatkan nilai komoditas perikanan agar dapat bersaing di dalam dan luar negeri.
Lembaga swadaya masyarakat itu menilai masalah UU Perikanan selama ini, baik UU No 31/2004 maupun setelah diubah melalui UU No 45/2009 adalah tidak mengatur pascaproduksi.
Secara politik hukum, UU Perikanan fokus pada kegiatan produksi, terlihat pada lebih dari 100 pasal dalam regulasi itu, 52% di antaranya membahas produksi; 29,4% membahas praproduksi; 15% mengatur pra hingga pascaproduksi; dan hanya 17,6% membahas pascaproduksi.
"Revisi UU Perikanan dengan draf terakhir tertanggal 13 Februari 2017 masih berbicara di tataran yang sama, yakni bertumpu kepada aspek produksi," ujar Ketua KNTI Marthin Hadiwinata, Senin (27/2/2017).
Di sisi lain, lanjutnya, dari sekitar 13 juta tenaga kerja di sektor perikanan, 51% di antaranya beraktivitas di produksi perikanan tangkap dan budidaya, 38% di pemasaran, dan hanya 11% di sektor pengolahan.
Padahal dengan lapangan kerja yang terbuka di bagian pascaproduksi, khususnya pengolahan, maka tenaga kerja akan terserap.
"Namun, tentu dengan adanya perlindungan pekerja yang baik, meliputi kondisi kerja yang layak, perlindungan asuransi dan masa tua, pengawasan ketenagakerjaan yang kuat hingga masalah pengupahan," tutur Marthin.