Bisnis.com, JAKARTA - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia mengusulkan beberapa hal dalam rencana revisi UU No 45/2009 tentang Perikanan.
"Pertama, harus memikirkan bagaimana perlindungan nelayan tradisional dan nelayan skala kecil sebagai sinkronisasi dengan UU Perlindungan Nelayan," kata Ketua Bidang Hukum dan Pembelaan Nelayan KNTI Marthin Hadiwinata, Kamis (15/9/2016).
Seperti diketahui, UU Perlindungan Nelayan a.l. menjamin asuransi nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, dari rusak dan kehilangan sarana serta kecelakaan kerja dan kehilangan nyawa.
Kedua, selain nelayan, ucapnya, perubahan UU juga harus memastikan pengakuan dan perlindungan kepada pekerja perikanan lain, seperti pengolah perikanan dan pedagang, agar komprehensif dalam melihat bisnis perikanan.
Ketiga, lanjut Marthin, tujuan kegiatan perikanan perlu dipertajam dengan mengarah kepada pengelolaan perikanan yang berorientasi pada peningkatan nilai.
Dalam UU Perikanan, usaha perikanan dilakukan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.
Selain itu, pelaku usaha diminta memperhatikan standar mutu hasil perikanan. Di sisi lain, pemerintah dan pemerintah daerah diminta membina dan memfasilitasi pengembangan usaha perikanan agar memenuhi standar mutu.
Keempat, sanksi pidana IUU fishing perlu diperkuat, khususnya untuk korporasi dan modal besar.
UU Perikanan menyebutkan, dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurus dan pidana dendanya ditambah sepertiga dari pidana yang dijatuhkan.
Menurut Marthin, pemidanaan korporasi perlu progresif. Tidak hanya denda yang ditambah, tetapi juga pidana penjara.
"Sanksi pidana IUU (illegal, unreported, unregulated) fishing perlu diperkuat, khususnya untuk korporasi dan modal besar. Kalau perlu, pertimbangkan sanksi penutupan korporasi," ujarnya.