Bisnis.com, JAKARTA — Produsen petrokimia menilai besaran penurunan harga gas yang diberikan pemerintah belum cukup untuk mendongkrak daya saing industri berbasis gas di Indonesia.
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan harga gas yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM per 1 Januari 2017 sama saja dengan harga yang yang berlaku per Januari 2016. Harga gas di pintu pabrik, lanjutnya, juga cuma turun US$0,1—US$0,2 dibandingkan Januari 2015.
Dia mengatakan rata-rata harga gas yang baru masih tidak ekonomis bagi aktivitas industri pupuk dan petrokimia yang menggunakan gas sebagai bahan baku produksi (feed stock).
“Mungkin ini cuma buat PT Krakatau Steel Tbk (Persero) saja, mereka yang toll fee-nya turun lumayan banyak. Ini artinya surat dari Menteri Perindustrian belum diakomodasi,” kata Fajar, Senin (5/12/2016).
Fajar menilai keputusan membatasi penurunan harga gas untuk BUMN di tiga sektor industri menunjukkan pemerintah hanya memikirkan kepentingan jangka pendek.
"Kelihatannya pemerintah cuma mikirin mikro saja, tidak berpikir makro. Pemerintah sepertinya lagi butuh duit cepat nih," katanya.
Dia mengatakan sebetulnya pelaku industri pengguna gas dan Kementerian Perindustrian sudah memberikan argumen yang kuat tentang dampak positif penurunan harga gas bagi ekonomi.
Pendapatan pemerintah, jelas Fajar, akan naik signifkan lewat penerimaan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai karena industri semakin kompetitif.
Direktur Eksekutif Federasi Industri Kimia Indonesia (FIKI) Suhat Miyarso mengatakan Peraturan Menteri ESDM no. 40/2016 memang tidak mengatur penurunan harga gas buat perusahaan swasta.
“Kami berharap Menteri ESDM segera menerbitkan Permen baru untuk non-BUMN dengan kondisi yang lebih baik,” kata Suhat.