Bisnis.com, JAKARTA - Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) mendesak kementerian dan lembaga terkait (KL) yang berhubungan dengan lalu lintas barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok menggenjot produktivitasnya dan melayani pelabuhan seharian nonstop alias 24/7.
Ketua Umum Depalindo Toto Dirgantoro mengatakan penyebab naiknya kembali watu inap barang/peti kemas atau dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta saat ini karena komitmen instansi pemerintah melayani pengguna jasa atau ekaportir importir sangat kurang.
"Dwelling time Priok kembali naik karena dipicu komponen pre-custom clearance yang persentasenya naik. Ini artinya ada ketidakseriusan para instansi terkait dalam menekan dwelling time di pelabuhan Priok," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (10/2/2016).
Data Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok menyebutkan bahwa dwelling time pada bulan Januari 2016 naik menjadi 5,3 hari padahal pada akhir tahun lalu (Desember 2015) sudah mampu mencapai rata-rata hanya 4,7 hari.
Dwelling time pada Januari 2016 itu berasal dari pre-custom clerance 3,19 hari, custom clearance 0,65 hari dan post-custom clearance 1,5 hari. Adapun pada Desember 2015, pre-custom clearance 2,56 hari, custom clearance 0,49 hari dan post-custom clearance 1,69 hari.
Toto mengatakan mengacu data itu kenaikan dwelling time dipicu pre-clearance yang melibatkan sejumlah kemementerian dan lembaga seperti Badan Karantina, Badan POM, Kementerian Kesehatan yang menerbitkan sertifikasi kesehatan komoditas, urusan izin komoditi larangan pembatasan (lartas) di Kemendag, Surveyor serta pihak Perbankan dan perusahaan agen pelayaran yang belum operasi 24/7.
Sedangkan pengaruh naiknya pre-clearance yang berkaitan langsung dengan pemilik barang yakni akibat tidak stabilnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS atau kurs.
"Pertimbangan kurs ini sering jadi perhatian khusus pemilik barang impor untuk memasukkan barangnya melalui pelabuhan Priok. Seharusnya pemerintah dan Bank Indonesia bisa menstabilkan nilai kurs ini," paparnya.
Toto menyatakan yang paling menyolok terkait hambatan ekspor impor itu dan hampir dialami semua pelaku usaha adalah tidak mendukungnya latanan perbankan di dalam negeri dalan proses bisnis ini. Selain itu agen kapal asing hanya beroperasi sampai sore hari dan belum nonstop.
"Jika semua KL itu memahami fungsinya dan keterlibatannya dalam proses bisnis ekspor impor maka meskipun hari libur tetap berjalan dan tidak ada masalah," paparnya.
Kendati begitu,Toto mengatakan dwelling time Priok yang kini 5,3 hari masih tergolong wajar karena Priok merupakan kategori pelabuhan pengumpul bukan pelabuhan transhipment.
"Kita jangan bandingkan dengan pelabuhan Singapura yang dwelling time-nya hanya satu hari karena pelabuhan itu transhipment. Bandingkan dengan Thailand dan Malaysia yang sama-sama pelabuhan pengumpul dan di sana dwelling time nya 4-5 hari," paparnya.
Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Arifin Soenarjo, justru mengklaim kenaikan dwelling time Priok dipicu banyaknya hari libur selama Januari tahun ini.
Depalindo juga menyatakan tidak ada korelasinya antara naiknya dwelling time dan meningkatnya persentase importasi jalur merah di Pelabuhan Tanjung Priok. Justru, kata dia, kecilnya importasi jalur merah berarti barang yang diperikasa fisik di lini satu pelabuhan atau lokasi behandle makin berkurang dan hal ini berpotensi naiknya aktivitas penyelundupan barang.
Toto menyarankan idealnya SDM petugas Bea dan Cukai yang melakukan pemeriksaan fisik barang di pelabuhan Priok diperbanyak agar produtivitasnya tetap stabil bukan justru mengurangi pekerjaannya dengan mengurangi importasi jalur merah yang sebelumnya rata-rata diatas 17%.
Sekretaris DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta Adil Karim mengatakan semua kementerian dan lembaga terkait mesti berbenah diri mendukung proses bisnis ekspor impor di pelabuhan.