Bisnis.com, JAKARTA - Praktisi kepelabuhan Supply Chain Indonesia (SCI), M. Iskandar menilai dua rencana atas layanan kepelabuhan yakni; pelaksanaan single billing dan pusat konsolidasi kargo ekspor dan impor memiliki benang merah yakni menekan lamanya dwelling time.
Iskandar mengingatkan agar pemerintah jangan sampai lupa menekan biaya pelabuhan yang tinggi.
Biaya tinggi itu selama ini banyak dikeluhkan oleh pengguna jasa karena ketidakjelasn biaya-biaya yang selama ini ditagihkan, terang Iskandar kepada Bisnis, Jumat (5/2/2016).
Jika pemerintah mampu memanfaatkan single billing dan pusat konsolidasi cargo sebagai saran pemantauan mekanisme kerja di pelabuhan, maka hal tersebut akan sangat membantu untuk menekan biaya.
Pemerintah harus mampu memetakan seluruh jenis biaya yang ada di pelabuhan, besaran nilai batas atas atau batas bawah yang dapat ditagihkan ke pengguna jasa, tuturnya.
Adapun beberapa contoh ketidaksamaan atau kesewenangan yang biasa dilakukan oleh penyedia jasa antara lain; pertama, biaya tebus DO atau tebus kargo FCL antar shipping company memiliki disparitas biaya yang sangat mencolok. Kedua, biaya jaminan container antar shipping company juga memiliki selisih yang besar.
Ada yang membebaskan jaminan container dan ada yang meminta jaminan bahkan sampai Rp5 juta per container, ungkap Iskandar.
Ketiga, biaya overbrangen (OB) container ke lapangan TPS bisa dikontrol oleh pemerintah. Keempat, biaya container freight station (CFS) secara mekanik atau delivery untuk kargo konsolidasi ekspor impor bisa dilakukan penyeragaman.
Menurut Iskandar, banyak kasus dimana importir harus membayar biaya DO yang mahal kepada konsolidator. Hal ini disebut Iskandar sebagai bentuk praktik bisnis yang tidak sehat dimana konsolidator memberikan rebate atau komisi kepada agen yang berada di port of loading.