Bisnis.com, MEDAN--Asosiasi Badan Pelabuhan Indonesia (ABUPI) menegaskan bahwa penunjukan Bea Cukai sebagai koordinator dwelling time tidak sesuai dengan undang-undang.
Ketua Umum ABUPI Aulia Febrial Fatwa mengatakan koordinator dwelling time seharusnya pihak yang berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan. Dia menyayangkan karena yang dipilih adalah Bea Cukai, di bawah Kementerian Keuangan, maka hal itu sudah melenceng dari UU.
Adapun Undang-Undang (UU) No.17/2008 tentang Pelayaran di mana penyelenggara pelabuhan atau otoritas pelabuhan harus bertanggungjawab kepada Menteri Perhubungan.
"Kenapa Bea Cukai [sebagai kordinator]? Kalau mengacu pada UU, seharusnya Otoritas Pelabuhan yang di bawah Kemenhub," ungkapnya pada Bisnis Indonesia, Selasa (5/8).
Walakin, Aulia mempertanyaan alasan dipilihnya Bea Cukai untuk mengatasi dwelling time. Di sisi lain, ABUPI mengapresiasi pembentukan Indonesia National Single Window (INSW) sebagai lembaga independen untuk menyelesaikan kendala angkutan laut.
Aulia menuturkan dengan terbentukan INSW maka gabungan satu atap dari intansi terkait, baik proses custom clearance, preclearance dan post clearance bisa lebih cepat.
Wakil Ketua Indonesia National Shipowners Association (INSA) Cabang Medan Muhammad Willy mengatakan tantangan logistik yang terjadi di Sumatra Utara yakni kurangnya integrasi, sinergi bisnis antar perusahaan logistik. Menurutnya, integrasi logistisk bisa menjadi poin utama untuk melayani pelanggan.
"Bila dalam operasional, kami juga sangat bergantung pada tarif pelabuhan," tuturnya.
Willy menuturkan pengusaha logistik akan mengalami tekanan bisa biaya operasional yang diterapkan cukup mahal. Menurutnya, tarif pelabuhan telah menjadi komponen biaya bagi logistik lokal dan nasional.
Merespon hal tersebut, Aulia mengatakan monopoli di pelabuhan harus dihapuskan sekaligus menciptakan investor yang lebih luas di pelabuhan. Menurutnya, bila investor berminat mulai banyak maka perlu regulasi untuk mengatur investor yang masuk ke pelabuhan.
Saat ini, ABUPI mencatatkan telah ada 187 perusahaan badan usaha pelabuhan (BUP), 4 diantaranya adalah badan usaha milik negara. Dari 183 BUP swasta, hanya 80 BUP yang aktif beroperasi.
Dia menyayangkan izin-izin tersebut kurang aktif digunakan. Padahal, 183 BUP tersebut bisa digunakan di 2.000 pelabuhan di Indonesia.