Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ironis, "Kapal Merah Putih" Pilih Pekerjakan Kru Asing, ABK Lokal Hanya Kroco

Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) mengungkapkan, tidak terserapnya pelaut lokal yang dipekerjakan di kapal-kapal nasional lantaran perusahaan pelayaran nasional lebih memilih pelaut asing di kapal berbendera merah putih.
Kapal MV Kayu Putih yang berbendera Indonesia ini diawaki 22 orang, tetapi sebagian besar orang asing. Dari jumlah itu, 12 orang di antaranya dari Filipina dan India (masing-masing 6 orang) sebagai 11 Perwira (termasuk Nakhoda & KKM) dan 1 oiler. Adapun, 10 orang dari Indonesia hanya sebagai kroco alias bawahan./Ilustrasi MV Kayu Putih milik PT PANN (Persero)-pannmaritime.co.id
Kapal MV Kayu Putih yang berbendera Indonesia ini diawaki 22 orang, tetapi sebagian besar orang asing. Dari jumlah itu, 12 orang di antaranya dari Filipina dan India (masing-masing 6 orang) sebagai 11 Perwira (termasuk Nakhoda & KKM) dan 1 oiler. Adapun, 10 orang dari Indonesia hanya sebagai kroco alias bawahan./Ilustrasi MV Kayu Putih milik PT PANN (Persero)-pannmaritime.co.id

Bisnis.com, JAKARTA - Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) mengungkapkan, tidak terserapnya pelaut lokal yang dipekerjakan di kapal-kapal nasional lantaran perusahaan pelayaran nasional lebih memilih pelaut asing di kapal berbendera merah putih.

Padahal, Asas Cabotage yang dilaksanakan berdasarkan Instruksi Presiden No. 5/2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayanan Nasional yang diperkuat dengan UU No. 17/2008, mampu meningkatkan jumlah armada nasional.

Anggota Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) Hanafi Rustandi mengatakan saat ini  jumlah kapal berbendera Indonesia mencapai 13.224 unit, atau meningkat 117% dibanding tahun 2005 dengan gross ton (GT) mencapai 18,9 juta GT.

Namun,katanya, peningkatan itu tidak diimbangi dengan pengawasan, sehingga banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha kapal.

"Akibatnya, kapal-kapal berbendera Indonesia banyak diawaki oleh orang asing. Baik kapal niaga, kapal perikanan, maupun offshore (anjungan lepas pantai) beserta kapal-kapal pendukungnya," ujarnya,hari ini, Senin (9/3/2015).

Hanafi mengatakan lemahnya pengawasan ini menyebabkan minimnya ketersediaan lapangan kerja bagi pelaut lokal di kapal-kapal nasional.

"Pengawasan harus ditingkatkan dan pelanggaran juga harus diikuti dengan sanksi tegas,” kata Hanafi yang kini juga menjabat sebagai Presiden Eksekutif Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI).

Hanafi memberikan contoh pelanggaran yang ditemukan di kapal MV Kayu Putih milik PT PANN (Persero). Kapal berbendera Indonesia ini diawaki 22 orang, tapi sebagian besar orang asing. Dari jumlah itu, 12 orang di antaranya dari Filipina dan India (masing-masing 6 orang) sebagai 11 Perwira (termasuk Nakhoda & KKM) dan 1 oiler, sedangkan 10 orang dari Indonesia hanya sebagai bawahan.

Kapal tersebut dalam proses sewa beli (leasing) dengan PT Meranti Maritime. Namun, kapal disub-operasikan dan dimanajeri oleh Aquarius Maritime Pte. Ltd, perusahaan di Singapura.

Saat kapal tersebut singgah di pelabuhan Quinhuangdao, China, kru kapal melaporkan ke ITF (International Transport worker’s Federation) China bahwa selama dua bulan terakhir belum menerima gaji dan minimnya persediaan makanan dan air minum di kapal.

"Laporan  itu kemudian diteruskan ke KPI untuk ditindaklanjuti," paparnya.

Untuk itu, KPI mendesak Kementerian Perhubungan segera bertindak tegas untuk menyelesaikan kasus tersebut. “Setiap pelanggaran, pemilik atau operator kapal harus ditindak tegas tanpa kompromi,” ucapnya.

Hanafi menegaskan, berdasarkan UU No.17/2008 tentang Pelayaran, semua kapal Indonesia wajib menggunakan pelaut Indonesia, apalagi untuk posisi penting seperti nakhoda, KKM (kepala kamar mesin) dan perwira.

Dia mengatakan pengecualian terhadap ketentuan ini hanya diberikan kepada kapal-kapal khusus dengan persyaratan tertentu dan awak kapal asing tersebut harus dari negara yang pemerintahnya sudah membuat letter of undertaking dengan pemerintah RI serta harus memiliki Certificat of Recognition dari Pemerintah Indonesia.

Ketentuan wajib menggunakan kru WNI di kapal-kapal perikanan nasional juga sudah diatur dalam UU No. 45 tahun 2009. Namun selama ini, kapal-kapal perikanan Indonesia yang beroperasi di wilayah Timur Indonesia lebih banyak diawaki kru asing dari Myanmar, Vietnam, China dan negara lainnya.

"Begitu juga kegiatan offshore seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT). Di proyek tersebut 75% pekerjanya dikuasai tenaga asing," tuturnya.

Menurut Hanafi, cabotage dan perlindungan terhadap kesejahteraan pelaut sangat erat kaitannya dengan keberhasilan kebijakan poros matirim yang dicanangkan pemerintah.

"Hal ini harus didukung sepenuhnya oleh semua pelaku usaha di sektor ini, jangan sampai terjadi masyarakat lokal hanya menjadi penonton," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Akhmad Mabrori
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper