Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha keberatan dengan kebijakan yang mengatur kewajiban penggunaan kapal nasional, salah satunya untuk mengangkut ekspor batu bara.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menyatakan keberatan dalam penggunaan kapal yang ada kepemilikan Indonesia untuk mengekspor produksi batu bara. Pasalnya, kebijakan itu akan membuat merosotnya ekspor batu bara.
Hendra mengungkapkan ada sejumlah alasan yang membuat asoiasi keberatan terhadap beleid tersebut. Yang pertama, dia menyatakan produksi batu bara termal Indonesia mencapai sekitar 50 juta ton per bulan atau mencapai 600 juta ton per tahun.
Angka produksi batubara termal tersebut, imbuhnya, terbagi menjadi sekitar 11 juta hingga 12 juta ton per bulan untuk konsumsi domestik dan sekitar 35 juta hingga 38 juta ton per bulan untuk ekspor.
"Kami melihat volume yang sama akan terjadi di tahun 2020 di sisi ekspor, dengan volume dalam negeri diperkirakan akan meningkat 10 persen hingga 15 persen lagi di tahun 2020. Tongkang mengangkut kurang lebih 40 persen hingga 50 persen dari domestik," ujarnya kepada Bisnis, Jumat (21/2/2020).
Lebih lanjut, dia menyatakan ukuran armada kapal curah Indonesia tidak memadai untuk mengangkut ekspor batubara termal Indonesia. Pasalnya, jumlah armada kapal curah secara keseluruhan non-semen, yang berusia di bawah 20 tahun ada sebanyak 69 kapal dengan DWT (tonase bobot mati) hanya 3,5 juta metrik ton.
Baca Juga
"Total aliran ekspor batubara lebih dari 10 x jumlah DWT kapal tersebut di atas per bulan dan kapal di atas sudah berkomitmen untuk melayani smelter domestik, seperti PLN, IPPs dan lain lain," kata Hendra.
Armada Indonesia memiliki armada ukuran Panamax sangat sedikit dan tidak ada armada yang berukuran cape size. Padahal, kapal ukuran Panamax dan cape size ini mutlak dan dibutuhkan untuk rute angkut ekspor jauh seperti India, Cina, Taiwan, Korea, Jepang.
Selain itu, dalam pemberlakuan kewajiban penggunaan angkutan laut nasional untuk ekspor batubara ini juga perlu mempertimbangkan umur kapal nasional di Indonesia.
Pasalnya, banyak penyewa kapal menolak untuk menggunakan kapal dengan umur di atas 15 tahun hingga 20 tahun dengan alasan utama yakni keselamatan, premi asuransi dan ketahanan dari kapal itu sendiri.
Menurutnya, adanya ketentuan batasan umur kapal dari para pengimpor tentu semakin membatasi jumlah armada Indonesia saat ini untuk melayani pengiriman batubara dengan rute internasional.
Selain itu, mengingat usia armada kapal, dan bahan bakar kapal Indonesia yang kurang efisien jika dibandingkan dengan armada yang lebih modern yang ada di negara lain sehingga akan membuat kurang kompetitif dari perspektif harga pada rute angkut yang lebih luas.
Hal itu diyakini akan berdampak batu bara Indonesia lebih mahal berdasarkan pengiriman ke pengguna akhir yang pada akhirnya mengurangi bersih harga jual Free on Board (FOB) dari perusahaan tambang.
"Banyak perusahaan yang sudah memiliki kontrak pasokan batu bara jangka panjang dengan produsen batubara besar di Indonesia lebih dari 10 tahun. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan yang terkait dengan keberadaan perjanjian pasokan batubara yang dapat dihargai dengan premi material untuk keuntungan Indonesia," jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris Perusahaan PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) Dileep Srivastav berharap adanya solusi yang terbaik agar tak ada pihak yang dirugikan dari penerapan kebijakan ini.
"Semoga akan ada win-win solution sehingga ekspor batu bara tetap tidak terpengaruh," ucapnya.