Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan kewajiban penggunaan kapal nasional untuk mengangkut komoditas batu bara memunculkan kritikan dari pengusaha batu bara.
Ketua Umum Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan saat ini ketersedian kapal pengangkut batu bara hanya mampu mengangkut 30 persen dari total komoditas pengiriman batubara nasional. Hal itu menurutnya membuat kalangan pengusaha batu bara menolak implementasi beyond cabotage atau penggunaan kapal nasional pada Mei mendatang.
Menurutnya, potensi pasar ekspor batu bara sebesar 410 juta di tahun ini tentu menjadi potensi yang besar untuk mendorong beyond cabotage. Namun, kontrak yang telah dimiliki perusahaan tambang untuk pasar ekspor tak mungkin dipaksakan dengan ketersediaan jumlah armada kapal nasional yang relatif terbatas.
"Dukungan perusahaan pertambangan batu bara untuk memperkuat beyond cabotage tentu tidak diragukan. Bukan saja sebatas pengusanaan armada, namun lebih dari itu, bagaimana memperbesar jumlah armada harus dipersiapkan. Apalagi untuk kepentingan dan kebanggaan bangsa atas terkibarnya 'merah putih' di setiap destinasi negara importir batubara," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (20/2/2020).
Kendati demikian, menurutnya, tanpa persiapan jumlah armada kapal nasional yang mencukupi kebijakan beyond cabotage akan merugikan perusahaan tambang atas kontrak jual beli batubara yang telah dimiliki.
Dia menuturkan masalah yang harus dihadapi oleh perusahaan tambang bukan sebatas pengaturan ulang pengapalan tetapi juga potensi batalnya kontrak perjanjian jual beli harus dihadapi oleh pemilik tambang. Ditambah lagi, kondisi pasar saat ini tengah kelebihan pasokan dan indeks harga batubara yang cukup rendah.
Baca Juga
"Sebatas memaksakan asas beyond cabotage, justru dapat berakibat memukul pemerintah yang sedang berupaya meminimalkan current account defisit (CAD)," ucap Singgih.
Pihaknya pun tak memungkiri penerapan asas beyond cabotage telah membuat armada pelayaran nasional tumbuh pesat dimana jumlah armada nasional melonjak empat kali lipat dari 6.041 unit di 2005 menjadi 24.046 unit pada 2016.
Sejalan dengan kenaikan jumlah armada, kapasitas angkut juga melesat cukup tinggi. Pada 2005 kapasitas angkut sebatas tercatat 5.67 juta Gross Ton (GT) yang akhirnya melonjak mencapai 38,5 GT di tahun 2016.
"Kenaikan kapasitas angkut dalam negeri melonjak hampir menjadi tujuh kali, dan ini tidak akan terjadi tanpa upaya memperkuat asas cabotage," katanya.
Singgih memproyeksikan apabila Pemerintah tak mengendalikan produksi batu bara maka pertumbuhan produksi batu bara akan terus meningkat dan dipastikan dalam sepuluh tahun ke depan dapat dipastikan 75 persen dari total produksi batubara nasional akan menjadi potensi ekspor.
Dari potensi ekspor batubara, dapat dipastikan 50 persen dari total ekspor batu bara akan dikapalkan untuk pasar ekspor India dan China. Selanjutnya diikuti pasar ekspor Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan lain sebagainya.
Dengan pasar ekspor batu bara yang cukup tinggi dan relatif akan bertahan lama menjadi pekerjaaan rumah industri perkapalan untuk terus memperbesar kapal pengangkut.
"Potensi ekspor batubara yang telah ada di depan mata, jelas memperlukan armada pengangkut batubara untuk tujuan ekspor. Tujuan besar beyond cabotage semestinya juga bukan sebatas diletakkan pada penguasaan armada meskipun berbendera asing," tuturnya.
Dia menilai untuk tujuan ekspor batu bara dibutuhkan kapal cargo bulk minimal berukuran 60.000 DWT (panamax size) untuk mendapatkan skala ekonomis yang optimal.
Melalui perhitungan kasar, dengan bulker tipe Panamax (60.000 DWT), dengan asumsi trip per bulan untuk rute Kalimantan tujuan China dalam satu tahun dapat mengangkut 1,7 juta ton batubara.
"Dengan potensi ekspor pasar ekspor Cina yang dapat mencapai 100 juta-an ton per tahunnya, dibutuhkan setidaknya 60 unit bulker tipe Panamax Size," ujarnya.