Bisnis.com, JAKARTA - Tim Reformasi Tata Kelola Migas masih mengkaji soal Pertamina Energy Trading Limited (Petral) -anak usaha Pertamina yang menyelenggarakan pengadaan minyak mentah dan BBM buat induk usahanya itu.
Oleh sebab itu, pemerintah dalam hal ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said juga masih menunggu rekomendasi dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas dalam menentukan nasib Petral.
Namun, serangan bertubi-tubi mengarah ke Tim Reformasi Tata Kelola Migas, kendati rekomendasi tersebut belum muncul. Mereka berasal dari LSM, pengamat bidang energi maupun lembaga kajian yang pro terhadap Petral.
Mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu meminta Tim Reformasi Tata Kelola Migas tetap fokus dan tidak terlalu mendengarkan masukan-masukan dari banyak pihak, terutama dari LSM, pengamat dan organisasi, yang tidak objektif dan rawan kepentingan atau ditunggangi, kemudian menjadi corong pihak tertentu.
"Kan campur aduk orang-orang memahami Petral. Apa dia [LSM/pengamat/organisasi] ditunggangi pihak tertentu, sehingga menjadi corong pihak tertentu, ini juga harus dilihat," tegasnya saat diihubungi wartawan, Kamis (12/12/2014).
Seperti diketahui, sejumlah LSM dan organisasi kerap membela keberadaan Petral untuk dipertahankan. Sebut saja misalnya Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) yang dipimpin Sofyano Zakaria, ReforMiner Institute, dan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) yang digawangi Salamuddin Daeng.
Sebelumnya, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (6/12/2014), Direktur ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mempertanyakan langkah Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang langsung membidik Petral, yang disebut sebagai sarang mafia. Hal ini pun hanya berdasarkan sentimen publik.
Senada dengan Komaidi, Salamuddin Daeng dari AEPI juga menyikapi sorotan terhadap Petral oleh Tim Reformasi Tata Kelola Migas, dan menyayangkan sikap Tim Reformasi Tata Kelola Migas dalam bekerja.
Lalu, dalam sejumlah kesempatan pun Sofyano Zakaria dari Puskepi menilai Petral tidak perlu untuk dibubarkan. Menurut dia, yang perlu dilakukan yaitu lebih meningkatkan sistem dan pengawasannya guna meminimalisir penjualan minyak ilegal.
Said Didu menambahkan ketika membicarakan Petral ada tiga hal atau masalah yang harus diperhatikan. Nama Petral sendiri, kegiatan Petral, dan kecurigaan ada permainan Petral. Nah, seringkali, semua masalah itu dibungkus jadi satu yakni Petral.
Nama Petral sendiri, kata Said Didu, secara persepsi publik dan politik memang sudah bermasalah serta sudah jelek. "Walaupun diperbaiki itu politisnya tidak bisa hilang, karena sekarang ini kan ada isu hanya akan diperbaiki tak dibubarkan," tegasnya.
Sementara dari sisi kegiatan atau operasional Petral, kata dia, Pertamina memang memerlukan perusahaan trader karena dari sisi volume, impor minyak yang dilakukan sangat besar. Dengan trader itu pula, penting untuk mengisolasi risiko agar jangan langsung terkena ke induk.
Poin ketiga, lanjut Said, berkaitan dengan kelakuan Petral yang dicurigai orang. Misal mengambil untung besar dari praktik impor minyak. "Makanya saya pernah bilang pada 2007 lalu, Petral ibarat kolam penuh oli berisi ular berbisa. Jangan lupa juga, hampir semua yang pernah di Petral, karirnya langsung melejit, jadi wajar orang curiga," tandasnya.
Nah, melihat hal itu, kata dia, Pertamina tetap harus punya trader namun harus beroperasi dan berbasis di Indonesia namun memiliki kewenangan masuk ke pasar-pasar spot pasar minyak tak hanya Singapura saja seperti yang dilakukan Petral sekarang ini.
"Ini artinya jangan juga asal pertahankan Petral saja tanpa mengkaji tiga poin di atas tadi. Masalah nama juga bisa diganti dan itu tinggal panggil notaris saja dan tak butuh waktu lama," jelasnya.