Bisnis.com, JAKARTA - PT Pertamina (Persero) dinilai masih belum benar-benar terbuka terkait dengan pengelolaan subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Peristiwa antrian pembelian BBM yang mengular di sejumlah daerah beberapa waktu lalu menjadi bukti dari sisi pengelolaan dan sistem penyaluran BBM masih bermasalah.
Pengurangan pasokan ke sejumlah SPBU yang dilakukan Pertamina, bisa saja dilakukan tidak melulu dengan dasar supaya kuota 46 juta kiloliter terjaga.
Namun, bisa juga dinilai Pertamina masih belum terbuka terkait dengan sisi distribusi sekaligus kemungkinan kebocoran pada saat penyaluran BBM.
“Kebutuhan BBM memang sangat banyak, tetapi juga bisa dilihat dari sisi distribusi selama ini tidak transparan. Belum lagi dengan dugaan kebocoran, nah tidak ada cukup informasi dari Pertamina untuk menjelaskan masalah itu,” ujar Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW, Firdaus Ilyas, saat dihubungi wartawan, Kamis (18/9/2014).
Belum lagi ada persoalan disparitas harga BBM yang juga tidak pernah bisa diselesaikan oleh Pertamina.
Di satu daerah harga BBM bersubsidi menjadi sangat mahal sehingga memicu penyelundupan. Kasus penyelundupan BBM di Riau dengan nilai mencapai Rp1,3 triliun yang terungkap beberapa waktu lalu memberi contoh nyata mekanisme pengawasan Pertamina tidak berjalan.
“Bisa saja BBM untuk PSO itu kemudian dijual misal ke industri, dari sisi pengawasan jelas masih lemah,” tegasnya.
Ditanya siapa pihak yang bersalah dengan masih banyak penyelundupan dan juga dari sisi pasokan BBM yang bermasalah, apakah bagian niaga dalam hal ini Direktur Pemasaran dan Niaga Hanung Budya, menurut Firdaus tidak hanya niaga saja, secara kelembagaan mulai dari penyediaan BBM, marketing, hingga bagian pertanggungjawaban terkait penyaluran alokasi BBBM harus bertanggung jawab.
Hanung Budya santer disebut-sebut sebagai kandidat kuat pengganti Karen Agustiawan sebagai Dirut Pertamina.
“Ini lagi-lagi soal transparansi tadi hingga kemudian terjadi penyelundupan BBM ilegal. Harus dilihat juga berapa kerugian negaranya sehingga tentu harus ada penegakan hukum, bisa melalui UU Migas atau juga UU Korupsi. Kebocoran uang negara dari salahnya pengelolaan subsidi itu yang harus dicermati,” tandasnya.
Di tengah begitu banyaknya masalah yang ada di Pertamina, ia meminta pasca-mundurnya Karen Agustiawan sebagai Direktur Utama Pertamina, pengganti Karen harus steril dari kepentingan politik dan kepentingan ekonomi kelompok tertentu. Sehingga perusahaan BUMN tidak lagi dijadikan sapi perahan.
Hanung Budya sendiri sebelumnya juga pernah menjadi Dirut Petral, anak usaha Pertamina yang dinilai sebagai ‘sarang’ mafia migas. Karena itulah Firdaus menekankan bahwa siapapun yang dipilih sebagai pengganti Karen akan berbahaya kalau mewakili kepentingan tertentu, terlebih lagi kepentinga mafia migas.
“Baik dia dari dalam maupun dari luar akan berbahaya jika mewakili kepentingan politik tertentu. Pertamina bukan cuma sebagai Korporasi, ia punya tugas PSO sehingga para direksinya harus punya integritas, itu sarat penting petinggi Pertamina,” tegasnya.