Bisnis.com, JAKARTA - Relaksasi ekspor mineral, yang dikeluarkan dalam paket kebijakan ekonomi pemerintah beberapa waktu lalu, mendorong banyak perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) mengajukan revisi rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB).
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dede Ida Suhendra mengatakan proses pengajuan RKAB hingga saat ini tetap berjalan.
"Hampir setiap hari banyak yang mengajukan," ujarnya hari ini, Selasa (17/9/2013).
Meski ada pengajuan ekspor, pemerintah tidak menargetkan pendapatan. Dede menambahkan, kebijakan ini berfungsi untuk mengoptimalkan ekspor perusahaan yang difasilitasi oleh pemerintah.
"Tetapi ini [relaksasi] harus berhenti pada 2014," katanya.
Perusahaan yang mengajukan RKAB berasal dari berbagai komoditas. Pengajuan ini juga harus disertai syarat-syarat tertentu seperti telah melakukan clean and clear dan membayar royalti. Selain itu, perusahaan tambang juga telah menghitung kapasitas produksi mereka.
Pengajuan RKAB ini dilakukan di ranah pemerintah daerah sebagai instansi yang mengeluarkan IUP. Setelah itu, RKAB tersebut diproses di pemerintah pusat.
Beberapa komoditas mineral mungkin memang diuntungkan oleh relaksasi ini. Namun, komoditas yang tengah mengalami harga turun justru berhati-hati dengan kebijakan ini.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Nikel Indonesia Anton R Santoso mengatakan, beberapa perusahaan nikel yang berkadar rendah di bawah 1,9 bahkan tidak mengekspor karena harga tidak sesuai dengan RKAB. Ada pula perusahaan yang tutup karena harga nikel yang sangat rendah untuk kadar 1,7 dan 1,8.
"Karena harga turun terus dan produksi kecil, ada perusahaan yang tutup," katanya.
Saat ini pasar nikel terserap ke China. Negeri Tirai Bambu itu berminat pada nikel dengan kualitas sebesar 1,9. Perusahaan yang tutup terpaksa memberhentikan karyawan mereka dan mencari daerah-daerah yang diduga memiliki nikel berkadar tinggi.