Bisnis.com, JAKARTA- Komisaris PT Panasonic Gobel Rachmat Gobel menyatakan pemerintah harus memperkuat standardisasi berupa standar nasional Indonesia (SNI) guna menghadapi Asean Economic Community (AEC) 2015.
Menurutnya, penerapan SNI di Indonesia masih lemah dibandingkan dengan negara Asean lainnya seperti Malaysia dan Singapura. “SNI sangat penting untuk melindungi konsumen, mulai dari keselamatan, keamanan dan kesehatan,” kata Rachmat di Jakarta, Kamis (15/8/2013).
Dengan memperkuat SNI, dengan sendirinya industri akan ikut sehingga produk industri dalam negeri memiliki daya saing yang kuat dalam menghadapi AEC 2015. Oleh karena itu, dia berharap pemerintah bisa menerapkan standardisasi pada setiap produk dalam negeri.
“Misalnya, pemerintah harus terapkan standar dengan standar kualitas yang lebih baik dari saat ini. Kalau hanya menang murah, tentu akan kalah dengan yang lain. Barang-barang komponen, motor-motor untuk mesin cuci banyak yang bisa dikembangkan sehingga harus dilindungi,” tambahnya.
Selain itu, untuk menghadapi AEC 2015, pemerintah juga harus memperkuat industri yang sudah ada dengan menjaga cost production. Untuk bisa bersaing, Indonesia harus bisa meningkatkan ekspor. Namun, hal tersebut juga bergantung pada volatilitas rupiah.
“Ya paling tidak mampu mengisi pasar dalam negeri sendiri. Semua negara bersaing dan Indonesia harus membenahi sisi biaya produksi.”
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani mengatakan masalah yang paling besar dihadapi menjelang AEC 2015 adalah kordinasi antar pemerintah/kementerian yang tidak berjalan. Dengan kata lain, banyak hal atau kebijakan yang membuat industri terkadang sulit mengambil keputusan.
Bila ditanya siapkan industri nasional menghadapi AEC, lanjut Franky, jawabannya adalah siap tidak siap dan tergantung pada masing-masing sektor. Misalnya, seperti industri padat karya. Potensi penghambat paling besar adalah soal pengupahan yang dampaknya selalu membuat industri tertekan.
Masalah pengupahan memang paling utama, diikuti oleh ketersediaan bahan baku yang saat ini masih bergantung pada impor, kurs rupiah, infrastruktur, serta kebijakan energi. Untuk infrastruktur, Franky mengatakan biaya logistik yang dikeluarkan industri sangat besar lantaran kondisi infrastruktur yang belum berubah.