Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Inflasi Inti AS Juni 2025 Naik, Sinyal Tekanan Tambahan bagi The Fed

Inflasi inti AS Juni 2025 naik 2,8% yoy, menambah tekanan bagi The Fed dalam menentukan suku bunga di tengah belanja konsumen yang stagnan.
Pesepeda melintasi di depan gedung Federal Reserve di Washington, Amerika Serikat. Reuters/Kevin Lamarque
Pesepeda melintasi di depan gedung Federal Reserve di Washington, Amerika Serikat. Reuters/Kevin Lamarque
Ringkasan Berita
  • Inflasi inti AS pada Juni 2025 naik 0,3% secara bulanan dan 2,8% secara year on year, menambah tekanan bagi The Fed dalam menentukan kebijakan suku bunga.
  • Belanja konsumen riil hanya mengalami kenaikan kecil, mencerminkan pelemahan pasar tenaga kerja dan risiko perlambatan ekonomi yang lebih luas.
  • The Fed mempertahankan suku bunga acuan, meskipun ada perbedaan pendapat di antara para gubernurnya, dengan kekhawatiran terhadap inflasi dan dampak tarif impor.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA - Inflasi inti AS naik cukup tajam pada Juni 2025, sementara belanja konsumen nyaris stagnan, menambah tekanan bagi The Fed dalam menentukan arah suku bunga.

Data Biro Analisis Ekonomi AS (BEA) pada Jumat (1/8/2025) mencatat, indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi inti atau core PCE price index, yang tidak memasukkan komponen pangan dan energi, naik 0,3% secara bulanan dan 2,8% secara year on year (yoy). Kenaikan tahunan tersebut lebih tinggi dibandingkan Juni 2024, mencerminkan kemajuan terbatas dalam menekan inflasi selama setahun terakhir.

Sebagai informasi, data PCE menjadi ukuran inflasi inti yang dicermati oleh The Federal Reserve (The Fed) dalam menentukan arah suku bunganya.

Data yang dirilis Kamis (31/7/2025) waktu setempat juga menunjukkan bahwa belanja konsumen riil yang disesuaikan dengan inflasi hanya naik sedikit, setelah sempat turun pada Mei.

Perkembangan ini mencerminkan tarik-menarik di perekonomian AS yang membuat para pejabat The Fed terbelah terkait arah kebijakan moneter ke depan.

Di satu sisi, laju penurunan inflasi tampak terhenti, sementara para bankir sentral khawatir bahwa kebijakan tarif Presiden Donald Trump, yang sebagian dampaknya sudah mulai dirasakan konsumen, akan meningkatkan tekanan harga lebih lanjut. 

Di sisi lain, pelemahan belanja konsumen akibat pasar tenaga kerja yang melunak dapat menimbulkan risiko perlambatan ekonomi yang lebih luas.

Dalam keputusan Rabu lalu, The Fed mempertahankan suku bunga acuan untuk kelima kalinya secara beruntun. Namun, dua gubernur bank sentral menyatakan ketidaksetujuan dan mengusulkan pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin. Ketua The Fed Jerome Powell tetap bersikukuh mempertahankan suku bunga saat ini, dengan alasan pasar tenaga kerja yang masih kuat dan risiko kenaikan inflasi.

“Pelemahan belanja konsumen dan lonjakan harga barang akibat tarif dapat semakin menyulitkan kebijakan The Fed,” ujar Sal Guatieri, Ekonom Senior BMO Capital Markets dikutip dari Bloomberg. 

Dia menyebut, perlu melihat inflasi yang lebih jinak atau pertumbuhan dan pasar tenaga kerja yang lebih lemah agar pemangkasan suku bunga bisa terjadi pada 17 September.

Data terbaru ini melengkapi dua kuartal berturut-turut dengan pertumbuhan belanja konsumen terlemah sejak pandemi. Kenaikan pada Juni sebagian besar didorong oleh lonjakan pengeluaran barang non-durable. 

Namun, pembelian barang tahan lama (durable goods) turun untuk bulan ketiga berturut-turut, terpanjang sejak 2021, dan belanja jasa tetap lesu, mencerminkan lemahnya pengeluaran diskresioner.

Faktor utama lemahnya belanja adalah pasar tenaga kerja yang mulai mendingin. Pendapatan riil yang dapat dibelanjakan stagnan setelah turun pada Mei, sementara upah dan gaji hanya naik tipis. 

Laporan ketenagakerjaan Juli yang akan dirilis pada Jumat waktu setempat diperkirakan menunjukkan moderasi lanjutan dalam perekrutan dan sedikit kenaikan tingkat pengangguran. Sementara itu, tingkat tabungan tetap di level 4,5%.

Data terpisah yang dirilis Kamis menunjukkan klaim awal tunjangan pengangguran nyaris tidak berubah. Sementara itu, pertumbuhan biaya tenaga kerja naik 3,6% dibandingkan tahun sebelumnya, terendah sejak 2021, memberi sinyal bahwa pasar tenaga kerja tidak menjadi sumber tekanan inflasi baru.

Kenaikan inflasi Juni dipicu oleh lonjakan harga barang, termasuk perabot rumah tangga, perlengkapan olahraga, dan pakaian, mengindikasikan adanya alih beban tarif impor ke konsumen. Indeks harga konsumen bulan lalu juga mencatat kenaikan signifikan pada barang impor umum seperti mainan dan alat rumah tangga.

Sementara itu, indikator utama inflasi jasa yang mengecualikan energi dan perumahan naik 0,2% untuk bulan kedua berturut-turut.

Sebagian besar data PCE ini sebenarnya telah diperkirakan sebelumnya melalui masukan dari indeks harga konsumen (CPI), indeks harga produsen (PPI), serta data produk domestik bruto (PDB) triwulanan yang dirilis Rabu lalu.

Ke depan, para ekonom memperkirakan tekanan inflasi dapat meningkat, terutama jika Trump benar-benar mengumumkan putaran baru tarif pada Jumat dan reli pasar saham terus mendorong salah satu komponen utama PCE tetap tinggi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Bloomberg
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro