Bisnis.com, JAKARTA — Masyarakat kembali dihebohkan dengan temuan beras medium yang dijual menjadi beras premium alias beras oplosan.
Pengamat Pertanian dari Core Indonesia Eliza Mardian menilai konsumen akan sulit membedakan antara beras kualitas premium dan medium. Hal ini menyusul praktik pengoplosan beras medium yang dijual dan dikemas menjadi beras premium.
“Kalau konsumen akan sulit membedakan premium medium karena ngga bisa secara persis menghitung maksimal patahannya 15%. Kalau lebih dari itu ya bukan lagi kategori premium,” kata Eliza kepada Bisnis, Selasa (22/7/2025).
Menurut Eliza, konsumen justru akan bingung dan sulit mengidentifikasi antara beras premium dan beras medium. Kecuali dengan melihat banyaknya jumlah patahan.
Dengan adanya beras oplosan ini, Eliza meminta agar pemerintah harus bertanggungjawab dengan memastikan produk di konsumen sesuai dengan yang dibeli. “Jangan limpahkan ke konsumen,” imbuhnya.
Selain itu, Eliza menyebut pemerintah juga harus meningkatkan pengawasan dan menindak tegas pelaku penyelewengan berupa sanksi, termasuk dengan memenuhi pelindungan konsumen.
Baca Juga
Meski demikian, Eliza mengatakan kegiatan campur-mencampur beras alias mengoplos merupakan bagian dari strategi dagang, namun tetap dengan mengikuti persyaratan.
“Boleh pencampuran, asal yang dicampur masih dari jenis yang sama, maksimal patahan 15%, kadar air maksimal 14%, butir menir maksimal 0,5%,” terangnya.
Dia menjelaskan bahwa oplosan ini menjadi strategi produsen untuk memaksimalkan keuntungan di tengah kenaikan harga gabah, sementara dari sisi harga eceran tertinggi (HET) penjualan premium tidak ada penyesuaian yang sepadan.
“Nah yang nggak boleh itu kalau dicampur tetapi patahannya lebih dari 15%, yang dicampur beda-beda jenis jadi nya beda warna dan beda bentuk. Akhirnya nasi jadi cepat basi,” terangnya.
Namun, Eliza menjelaskan bahwa pengoplosan atau campuran beras tidak boleh dilakukan antara beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) dengan beras premium.
“Karena SPHP haknya masyarakat menengah bawah agar mereka tetap bisa membeli beras dengan terjangkau ketika harga naik, karena SPHP ini dikeluarkan untuk stabilisasi [harga],” jelasnya.
Di samping beras oplosan, Core Indonesia juga menyoroti beras yang tak sesuai dengan volume alias tak sesuai dengan takaran.
“Pemerintah yang seharusnya rajin sidak dan memantau produsennya, karena pengecer di pasar mereka juga nggak tahu beras yang dijual itu apakah sesuai dengan standar mutu atau tidak. Yang tahu produsennya,” tuturnya.
Eliza menambahkan bahwa langkah yang dilakukan pemerintah juga bukan hanya sekadar penarikan beras tak sesuai mutu dari pasar, melainkan juga sanksi tegas dan diusut hingga ke akar. Terlebih, kata dia, kejadian beras oplosan juga pernah terjadi pada 2017 silam.
“Bukan cuma penarikan, tetapi sanksi tegas dan diusut siapa yang banyak terlibat, karena ini bukan pertama kali pernah terjadi di tahun 2017. Kalau nggak diusut tuntas nanti kejadian ini [beras oplosan] bisa terulang lagi,” tuturnya.
Dalam catatan Bisnis, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut masyarakat kembali tertipu dengan adanya temuan beras yang tak sesuai mutu, dari sebelumnya sempat digegerkan dengan temuan minyak goreng Minyakita yang dijual tak sesuai takaran dah harga yang melampaui harga eceran tertinggi (HET).
Peneliti YLKI Niti Emiliana menyayangkan banyak produsen beras ternama yang mengalami kecurangan dengan memanipulasi harga, takaran, hingga mutu.
“YLKI sangat menyesalkan dengan adanya temuan ini. Apalagi banyak produsen beras besar dan ternama yang curang kepada masyarakat dengan memanipulasi pasar, harga, takaran dan mutu,” kata Niti kepada Bisnis.
Menurutnya, temuan beras yang melanggar mutu ini telah menipu dan melanggar hak konsumen. Bahkan, kata dia, produsen dapat dikenakan sanksi pidana dan konsumen berhak mendapatkan ganti rugi sesuai dengan Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen.
Padahal, Niti menuturkan banyak konsumen yang loyal terhadap merek beras tertentu, termasuk beras premium.
“Dengan temuan ini, konsumen menjadi tidak percaya dengan adanya embel-embel beras premium. Konsumen juga mempertanyakan fungsi pengawasan dari pemerintah,” ujarnya.
Untuk itu, Niti meminta agar pemerintah perlu segera melakukan audit rantai pasok beras dari hulu hingga hilir ke tangan konsumen dan mempublikasikan hasilnya kepada masyarakat sebagai bentuk transparansi.
“YLKI menuntut dan mendukung pemerintah untuk memberikan sanksi berat kepada produsen tersebut dan membersihkan mafia beras,” pungkasnya.