Bisnis.com, JAKARTA — China mencatat surplus perdagangan tertinggi sepanjang sejarah sebesar US$586 miliar pada paruh pertama 2025. Rekor ini dicapai meski terdapat hambatan tarif dari Amerika Serikat. Negara Tirai Bambu itu terpantu melakukan diversifikasi pasar ekspor dan menjaga ketahanan sektor manufaktur di balik capaian rekor ini.
Berdasarkan data Administrasi Umum Kepabeanan China yang dirilis Senin (14/7/2025), nilai ekspor Negeri Tirai Bambu pada Juni naik 5,8% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi US$325 miliar. Angka tersebut melampaui estimasi median dalam survei analis Bloomberg. Sementara itu, impor tumbuh 1,1 dan menjadi peningkatan pertama sejak Februari lalu.
Meski demikian, surplus dagang ini diraih saat pengiriman ke Amerika Serikat turun 16,1% dibandingkan Juni tahun lalu, meskipun angka tersebut membaik dari penurunan lebih dari 34% pada Mei. Perusahaan China berhasil mengalihkan ekspor ke pasar lain, dengan pengiriman ke seluruh negara anggota Asean melonjak 17% secara tahunan.
Kepala Administrasi Kepabeanan Wang Lingjun dalam konferensi pers mengatakan, perdagangan luar negeri China tetap tangguh dan mencatat kemajuan sepanjang paruh pertama 2025.
“Namun, kita juga harus mencermati meningkatnya unilateralisme dan proteksionisme global yang membuat lingkungan eksternal semakin kompleks dan penuh ketidakpastian," jelasnya dikutip dari Bloomberg.
Diversifikasi pasar ekspor turut menopang aktivitas pabrik China, memberikan bantalan terhadap perlambatan permintaan domestik di tengah tekanan global yang belum mereda.
Baca Juga
Namun, keberlanjutan tren positif ini masih menjadi tanda tanya, terutama karena pemerintahan Presiden Donald Trump terus menekan praktik transshipment barang menuju AS melalui negara ketiga.
Pekan lalu, AS mengumumkan serangkaian tarif baru yang akan mulai berlaku pada 1 Agustus. Termasuk di dalamnya adalah bea masuk 50% terhadap impor tembaga dan rencana pengenaan tarif sektoral lainnya.
Meski tarif AS terhadap produk China kini telah dipangkas menjadi sekitar 55%—dari puncaknya 145% pada April—Beijing tetap menghadapi risiko besar dari strategi dagang baru Washington.